JAKARTA – Indonesia terus saja memimpin sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Hal ini tentu akan berdampak pada potensi aktivitas filantropi Islam di negara kepulauan ini, termasuk wakaf uang. Apalagi Indonesia juga telah ditetapkan sebagai salah satu negara paling dermawan di dunia. Dua hal ini disebut sebagai faktor tingginya potensi wakaf uang di Indonesia.
Pada tahun 2018, Badan Wakaf Indonesia (BWI) menyebutkan besarnya potensi wakaf uang di Indonesia mencapai Rp180 triliun per tahun. Namun sayangnya, potensi wakaf uang yang besar tersebut masih belum mampu optimal sepenuhnya. Maka dari itu, perlu adanya transformasi wakaf menjadi produktif melalui mobilisasi dan pengelolaan wakaf uang yang baik. Ini lah yang menjadi tugas BWI dan lembaga-lembaga nazir wakaf lainnya untuk menyadarkan masyarakat akan manfaat wakaf produktif.
Sejatinya, wakaf uang memiliki keunggulan dibandingkan wakaf dalam bentuk benda tak bergerak. Sebab, wakaf uang dapat langsung bersinggungan secara aktif dengan kegiatan-kegiatan bisnis maupun investasi. Jika wakaf berupa benda bernilai manfaat untuk kegiatan sosial, kebajikan, dan peribadatan, berbeda dengan wakaf uang yang manfaatnya bisa melalui kegiatan pengembangan ekonomi produktif. Sedangkan yang dimaksud benda bergerak, juga mencakup uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengertian dan hukum wakaf uang termaktub dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Wakaf Uang. Di sana tertulis bahwa cash wakaf/wakaf al-nuqud adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, dan hukumnya adalah boleh. Ulama-ulama pun sependapat bahwa wakaf uang hukumnya jawaz (boleh) dan hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syari. Selain itu juga disebutkan nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tak boleh dijual, dihibahkan, dan/atau diwariskan.
Sebagai lembaga nazir wakaf yang diatur pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 1 dan 9 tentang nazir, Dompet Dhuafa berupaya penuh mengelola wakaf uang secara optimal. Segala bentuk wakaf benda bergerak ditunaikan oleh wakif dengan pernyataan yang dilakukan secara tertulis kepada Dompet Dhuafa. Setelahnya, wakaf diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. Selanjutnya, Dompet Dhuafa mendaftarkan harta wakaf kepada menteri.
Adapun wakaf uang yang terkumpul akan dimanfaatkan melalui instrumen investasi. Investasi yang dipilih Dompet Dhuafa bisa berupa investasi pada sektor riil maupun sektor keuangan lain yang mendatangkan profit atau imbal hasil. Hasil dari investasi tersebut akan bermanfaat ke berbagai keperluan pemberdayaan masyarakat. Sebagaimana UU Wakaf, hasil uang wakaf yang diinvestasikan, akan dibagi yaitu 10 persen untuk nazir dan 90 persen untuk mauquf ‘alaih, termasuk untuk kegiatan sosial maupun keagamaan. Sedangkan pokoknya harus selalu tetap terjaga nilainya.
Menariknya, Dompet Dhuafa memiliki tata kelola wakaf uang bahkan dari nominal yang kecil. Melalui Gerakan Sejuta Wakif, Dompet Dhuafa mampu mengecilkan nominal wakaf dengan memperbanyak jumlah wakif. Dengan hanya Rp10.000 saja, orang sudah bisa menunaikan wakaf yang nantinya dapat digunakan untuk membangun masjid, sekolah, rumah sakit, Edufarm, maupun dalam instrumen investasi. Meski hanya Rp10.000 namun jika dikalikan 1 juta, maka akan diperoleh Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah). Tentu dengan jumlah ini sangat memungkinkan untuk membangun aset wakaf produktif.
Namun hingga saat ini, masyarakat dirasa masih belum tergerak untuk berbondong melakukan berwakaf uang. Untuk itu, diperlukan sudut pandang serta langkah-langkah untuk meningkatkan optimalisasi wakaf uang di Indonesia. Dompet Dhuafa sebagai lembaga nazir resmi, terus menerus menggaungkan kesadaran masyarakat untuk berwakaf dimulai dengan nominal yang kecil. (Dompet Dhuafa / Muthohar)