BOGOR — Progam Dai Ambassador Dompet Dhuafa telah tuntas dilaksanakan. Sebanyak 29 dai yang ditugaskan ke berbagai negara, kini sudah pulang ke tanah air. Berbagai pembelajaran mereka dapatkan selama berdakwah di negara asing. Salah satunya, ialah Maryanti. Ustadzah asal Bekasi tersebut merupakan satu diantara dua dai perempuan yang diutus Dompet Dhuafa. Bersama rekannya, ia ditempatkan di negara Hongkong.
Perjalanan ke Hongkong merupakan pengalaman pertama Maryanti. Berkelana di negara dengan muslim sebagai minoritas, tentu menjadi tantangan tersendiri bagi sosok ibu tiga anak tersebut. Terlebih Hongkong merupakan negara dengan angka pendatang cukup tinggi. Berbagai etnis budaya dari belahan dunia ada di negara tersebut.
“Pernah suatu ketika saya kajian dengan jamaah di tempat terbuka, kita pasang speaker biar jamaah bisa jelas mendengar. Tapi di waktu yang sama, tepat di samping tempat kami, ada kelompok lain, hanya saja mereka sedang mengadakan pesta dan dugem. Serasa surga neraka bersebelahan, haha,” jelas Maryanti sambil bercanda, menceritakan salah satu pengalaman syiarnya di Hongkong.
Budaya lokal yang kental dengan kemandirian juga sempat membuat Maryanti geleng-geleng kepala. Terpaksa, Maryanti ikut menyesuaikan, agar bisa menipiskan jarak dengan jamaahnya. Dari situ juga, Maryanti sekaligus belajar kemandirian dan etos dari jamaahnya sendiri. Sebagai dai perempuan, maryanti banyak belajar dari karakter perempuan di Hongkong.
“Perempuan di Hongkong itu luar biasa kuat, mereka bisa angkat mesin cuci sendiri. Pernah saya diajak jalan tiga jam lamanya, bagi mereka biasa. Tapi bagi saya, kaki sampai kapalan,” tambah sosok 37 tahun tersebut.
Berada di Hongkong, isu fiqih minoritas tetap menjadi idola. Banyak jamaah yang kebanyakan merupakan buruh migran menanyakan bab-bab yang sangat jarang terjadi. Beberapa hal unik seperti mengandalkan fidyah daripada berpuasa sampai menjamak lima shalat hanya dalam satu waktu, ditemukan Maryanti di Hongkong. Walau sulit, namun Maryanti mencoba sebisa mungkin menyampaikan anjuran agama yang sesungguhnya, dan meyakinkan jamaah untuk tetap menjalankan nilai-nilai islam meskipun menjadi minoritas di sana.
“Di sana, ada yang hanya shalat di waktu subuh, lima shalat sekaligus langsung dijamak. Saya sampaikan bahwa tidak ada anjurannya dan saya berikan solusi yang lebih bersahabat sesuai dengan ajaran syariah. Sehingga mereka tetap bisa melakukannya di tengah kesibukan sebagai buruh migran,” terang Maryanti.
Sebagai dai perempuan, Maryanti banyak belajar dari karakter perempuan di Hongkong, baik lokal maupun buruh migran Indonesia. Maryanti sendiri jadi lebih mensyukuri hidup. Setiap waktu, curhatan para jamaah membuatnya membuka mata lebih lebar dalam melihat permasalahan dunia. Semangat belajar jamaah di sana juga menginspirasi Maryanti untuk terus menuntut ilmu.
“Walau mereka itu sibuk dan kerja terus, tapi tetap menyempatkan waktu untuk kajian bersama. Antusias mereka sangatlah besar, dari situ saya terharu dan senang,” tambah Maryanti. (Dompet Dhuafa/Zul)