JAKARTA — Sudah bukan menjadi rahasia, permasalahan sosial dan ekonomi Indonesia adalah kemiskinan dan banyaknya pengangguran karena kurangnya lapangan pekerjaan. Sebuah konsep penggerak ekonomi di kalangan dhuafa, Filantropreneurship, mampu memberikan peluang usaha, pandangan usaha, dan aspek praktikal dalam menyelesaikan masalah sosial dan ekomomi para masyarakat miskin. Selain perbaikan pada ekonomi mikro, Filantropreneurship dapat menjadi solusi untuk meningkatkan perekonomian pada skala nasional.
Melalui jaringan dan cabang di seluruh daerah Nusantara, Dompet Dhuafa berupaya mewujudkan konsep Filantropreneurship, yaitu dengan mengoptimalkan dana zakat, infaq, sedekah & wakaf (ziswaf) sebagai asas kegiatan ekonomi produktif.
Pemberdayaan masyarakat miskin, pengurangan kesenjangan sosial, dan penataan sosial ekonomi yang benar-benar berkeadilan sosial harus diakui bukanlah hal yang mudah. Di mata para ahli, kemiskinan sering kali didefinisikan hanya sebatas sebagai fenomena ekonomi.
Pengusung Filantropreneur, Parni Hadi mengatakan, pengelolaan aset ziswaf untuk kepentingan ekonomi produktif masih belum-lah populer. Selain pengetahuan masih terbatas, masyarakat belum memiliki banyak contoh program wakaf dalam skema ekonomi produktif yang berhasil. Masyarakat masih perlu diyakinkan bahwa aset ziswaf dapat dioptimalkan secara produktif bagi upaya meningkatkan taraf ekonomi masyarakat.
Maka itulah, Dompet Dhuafa, dengan program peternakan berbasis aset wakaf, berupaya menciptakan sebuah program berkonsep filantropreneurship yang diberi nama DD Farm. Uji coba pertama telah dilakukan di Serang-Banten di bawah pimpinan Dompet Dhuafa Cabang Banten, Mukhlas P A.
“DD Farm Banten dilaksanakan di atas lahan wakaf seluas 7.000 meter persegi di lingkungan Gowok Kepuh, Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Curug, Kota Serang. DD Farm menerapkan konsep pembiayaan gabungan antara wakaf dengan zakat di tahap awal, lalu ditumbuhkan dengan investasi ekonomi di tahap selanjutnya. Model pembiayaan ini populer disebut blended finance,” tulis Parni, pada Sabtu (12/12/2020) di Jakarta.
Lebih lanjut Parni menjelaskan, secara teknis, DD Farm mengubah model pemberdayaan peternak dari model plasma menjadi model sentra. Masyarakat penerima manfaat direkrut dengan kriteria mustahik dan mekanisme akad sebagai pekerja. Selama dua tahun, mustahik tersebut dilatih tentang manajemen kandang, pakan, kesehatan ternak, administrasi peternakan, dan lain sebagainya. Setelah itu, berdasarkan mekanisme seleksi yang ketat, mustahik yang lulus diberikan inkubasi dalam bentuk modal anakan ternak agar menjadi peternak.
Pada tahap tersebut, para penerima manfaat menjadi mitra DD Farm dan berhimpun menjadi Badan Usaha Desa (Bude). Peternakan plasma ditumbuhkan menjadi community enterprise yang terhubung dengan sentra ternak dalam hal pemasaran. Proses kemitraan ini kemudian dikembangkan menjadi jaringan sosial enterprise baru, yang diproyeksikan ke tahap pengukuhan menjadi muzakki baru.
Dalam tulisannya, Parni membeberkan, selain sebagai unit bisnis sosial, DD Farm juga mengembangkan beberapa produk sebagai pemasukan (revenue stream) usaha. Produk pertama adalah penggemukan domba/kambing untuk penjualan karkas bagi restoran dan catering, serta setiap tahun untuk mensuplai kebutuhan hewan Kurban. Selain itu, juga memproduksi pakan ternak berupa complete feed dan silase yang dipakai sendiri sekaligus dijual ke pasar peternak.
Bahkan, kotoran ternak pun juga menjadi produk penghasil uang bagi DD Farm.
“Kotoran dikumpulkan dari kandang, kemudian diolah melalui proses penjemuran tanpa bantuan teknologi dan kimia, sehingga menghasilkan pupuk dengan kualitas baik, mengandung 90% kotoran domba/kambing tanpa campuran pasir, sekam, atau material yang lain,” jelas Inisiator Dompet Dhuafa tersebut. (Dompet Dhuafa / Muthohar)