TANGERANG SELATAN — Ujian semester sangat antusias ditunggu oleh para Mahasiswa, rasa suka cita pun kental terasa. Karena setelah ujian, mereka dapat berlibur panjang, namun juga tegang dan cemas, lantaran seusai ujian adalah penentuan kompetensi mereka yang selama ini dipelajari. Rasa gembira dan antusias itu, tak dapat dirasakan oleh Vicky. Pasalnya, pria 19 tahun tersebut tak dapat membayar biaya ujian yang disyaratkan untuk mengikutinya.
Langkah gontai mengiringi pulangnnya ke rumah di Jalan Benda Barat 1, Pamulang, Tangerang Selatan. Rasa kecewa juga masih menghinggapi pikirannya. Ia semula tak mengira bahwa kampus yang dahulu menjanjikan bebas biaya bagi siswa berprestasi, justru hanya menjadi janji kosong dan tak seindah yang ditawarkan.
“Dulu bilangnya kan kalau kita masuk lima besar di Sekoah, bebas biaya full. Tapi pas kita ujian disuruh bayar. Ya sudah, saya jadi gak bisa ikut ujian,” ungkap anak kedua dari tiga bersaudara ini kepada tim LPM Dompet Dhuafa.
Vicky bukanlah siswa yang mampu secara finansial. Bapaknya, Yusrin (56), hanya bekerja sebagai juru parkir di sebuah Minimarket. Sedangkan ibunya, Ersih (50), merupakan tukang urut panggilan. Kedua orang tua berpesan, jika ingin kuliah maka ia harus mandiri dan mencari beasiswa. Hal ini tentu sangat beralasan, mengingat satu adiknya masih menempuh pendidikan SMP.
Sadar akan tanggung jawab besar yang dipikul, Mantan Ketua OSIS tersebut bertekad untuk membiayai kuliahnya sendiri. Alhasil, jadilah ia mencari tempat kuliah yang mampu memberikan beasiswa, baik universitas negeri ataupun swasta. Sungguh disayangkan, ketika mendapatkan kampus, pendidikan kuliah Vicky harus berhenti diawal masa kuliah yang belum genap satu tahun.
Di tengah kebimbangannya, Vicky memutuskan untuk rehat sejenak guna mencari pekerjaan untuk menopang kebutuhan pendidikannya, dan jika memungkinkan dapat membantu ekonomi orang tua.
“Syukur-syukur dapat kerja sambil kuliah, tidak apa-apa juga. Sambil menyelam minum air,” ujar remaja yang aktif di karang taruna tersebut.
Ia tahu bahwa keputusan yang diambil bukanlah keputusan ideal dan merupakan langkah mundur. Tetapi “pil pahit” itulah yang harus ia telan demi mewujudkan impian dan masa depannya yang lebih baik. Ia juga harus realistis dan objektif dengan keadaan yang ia alami. Maka dari itu, beberapa rencana pekerjaan sudah dirancang.
Ia sudah berkomunikasi dengan beberapa teman yang sudah bekerja dan berkomunikasi dengan Paman yang bekerja di bisnis percetakan. Vicky optimis tahun depan ia dapat kembali kuliah, walau bukan di kampus sebelumnya.
Namun, untuk mewujudkan hal itu semua, terlebih dahulu ia harus mengambil ijazah yang setahun belakangan belum ia ambil. Karena terkendala masalah biaya. Ijazah tersebut penting, lantaran untuk mendapat pekerjaan, ia harus melampirkannya. Terlebih beberapa perusahaan mewajibkan para pelamar menunjukan keaslian ijazah, bahkan ada yang menahannya sebagai prasyarat bekerja sesuai kontrak.
Berbekal informasi yang didapat, tak butuh waktu lama dan proses administrasi yang berbelit-belit, Dompet Dhuafa melalui amanah para donatur membantu menebus biaya tunggakan sekolah Vicky.
“Terima kasih para donatur Dompet Dhuafa yang budiman. Insyaa Allah bantuan yang diberikan tak akan saya sia-siakan, amiiin,” ucapnya dengan penuh syukur. (Dompet Dhuafa/Rifky LPM)