Wahid: Kumandangkan Adzan Magrib Kala Bumi ‘Menelan’ Desa Jono Oge (Bagian Satu)

SIGI, SULAWESI TENGAH — “Di balik tanah yang sedang kita pijak sekarang ini, masih banyak jenazah manusia, Mas,” ungkap Wahid (48), saat menunjukan langsung lokasi rumahnya yang hilang ‘tertelan bumi’ kepada tim kemanusiaan Dompet Dhuafa ketika Selasa (16/10/2018) di Desa Jono Oge, Kecamatan Sigi Biromaru.

Jumat, 28 September 2018 lalu, menjelang waktu maghrib, Wahid, tengah bersiap pergi ke Masjid untuk melaksanakan ibadah shalat. Seketika bumi berguncang keras, listrik padam, dan bangunan rumah bergetar. Ia menyelamatkan diri, segera keluar dari dalam rumah, namun mendapati pemandangan rumah-rumah yang mulai hancur. Tanah retak dan terbelah, ada yang amblas maupun juga naik, air lumpur menyembur, bahkan bergerak, bergeser seperti berjalan hingga sejauh 3 Km.

“Sembari takjub dengan situasi yang terjadi, saya berusaha menyelamatkan diri naik ke atas atap rumah yang perlahan ‘tenggelam’. Di atas atap rumah, saya kumandangkan adzan maghrib sekeras mungkin,” ungkap Wahid, haru.

Allahu Akbar.. Kala itu langit mulai gelap, namun ia teringat tujuan sebelumnya ketika melihat Agus (adik) dan beberapa anak-anak yang juga telah berpakaian untuk siap melaksanakan shalat ke Masjid. Wahid takjub akan kuasa Allah, dan memasrahkan diri kepada-Nya sembari tetap mengumandangkan adzan maghrib kala bumi berguncang dan ‘menelan’ Desa Jono Oge, kampung halaman tercintanya.

“Ini bukan pilihan, ini suatu kehendak-Nya. Bagi orang yang beriman, bencana alam adalah tanda kebesaran-Nya, yaitu musibah sebagai cobaan, tapi sebagai orang yang dilaknat, ini adalah azab, Naudzubillahi mindzalik,” pungkas Wahid.

Desa Jono Oge merupakan salah satu lokasi pemukiman penduduk yang terdampak fenomena alam gempa bumi dan likuifaksi yang terjadi di Sulawesi Tengah. Kini, hampir seluruh bangunan dan kehidupan di sana hancur. Bahkan, hilang dan menjadi sebuah kampung padang savanna dalam sekejap.

Lumpur dan hancur, terik tanpa bisik, kening membayang pada hening, debu bahkan bau, menyengat melengkapi haru nan bisu. Wahid pun bercerita tentang seorang temannya yang pergi mencari sebuah tempat aman ke Jawa Timur, setelah bencana melanda Palu. Namun sesampainya di sana, satu hari kemudian temannya tersebut mendapati guncangan gempa Situbondo.

“Tidak perlu kemana-kemana dari Palu, di bumi Allah semua sama. Karena bagi Allah semua mungkin. Lebih baik kita tawakal dan bangkit, untuk menata kembali hidup kita setelah ini dan berusaha menguatkan sekitar,” ucap Wahid, tegar. (Dompet Dhuafa/Dhika Prabowo)