Pandansari, Metamorfosis Desa Berdaya di Utara Jawa (Bagian 2)

SIARAN PERS, BREBES – Awalnya, pemuda-pemuda di Desa Pandansari merasa perlu adanya reboisasi mangrove di pesisir desanya. Mereka meyaksikan bagaimana besarnya dampak abrasi pada lingkungan. Satu dua mangrove, lalu ratusan, lalu ribuan. Hingga pada 2007, kelompok tersebut mendapat dukungan 4 juta bibit mangrove dari berbagai pihak. Jutaan mangrove ditanam di pesisir yang dulunya adalah tambak, menjadi sabuk pelindung bagi daratan, agar abrasi bisa dicegah. 

“Alhamdulillah, banyak warga yang mulai sadar, dan bersama ikut gerakan kami,” terang Wahyudin.

Niat awal hanya untuk melindungi lingkungan, berbuah manis dengan bonus sebuah pulau pasir. Pulau pasir tersebut menjadi embrio dari metamorfosis Desa Pandansari, dari desa nelayan biasa, menjadi desa wisata yang lebih hidup. Pulau pasir tersebut terbentuk dari sedimentasi pasir yang terhalang oleh pohon mangrove. Hanya dengan waktu singkat, banyak warga Brebes yang berdatangan hanya untuk mengunjungi pulau pasir tersebut. Kapal nelayan yang biasa hanya untuk mengangkut ikan, jadi lebih sering dipakai untuk menyeberangkan pengunjung. Hasil laut yang terkadang lesu pembeli, kini jadi ramai. Bahkan beberapa diantaranya menjual dalam bentuk hidangan. Karena ramainya trafik, pemerintah daerah mulai membangun jalan aspal di desa tersebut. Wajah peradaban baru Desa Pandansari dimulai.

“Awalnya pulau pasir, yang terbentuk dari sedimentasi pohon mangrove. Kadang pulau tersebut hilang kalau pasang datang. Tapi terkadang muncul lagi. Ramai sekali desa kami karena itu,” jelasnya, menceritakan pulau pasir yang muncul tiba-tiba.

Dompet Dhuafa sebagai salah satu lembaga kemanusian, pernah mengapresiasi gerakan lingkungan di Desa Pandansari. Gerakan perjuangan rehabilitasi mangrove tersebut dinilai berhasil melestarikan lingkungan dan sekaligus menggerakkan perekonomian. Karena dewasa ini, seringkali kerusakan lingkungan disebabkan adanya kepentingan ekonomi manusia. Desa Pandansari seakan menjadi percontohan yang mengharmoniskan kepentingan ekonomi manusia dengan kelestarian alam. Oleh karenanya, sosok Mashadi, salah satu tokoh gerakan tersebut mendapatkan penghargaan Dompet Dhuafa Award 2014, dalam bidang lingkungan. 

“Semoga apresiasi yang saya terima juga bisa memberikan inspirasi kepada banyak orang,” terang Mashadi, di 2014 lalu, saat menerima penghargaan Dompet Dhuafa Award.

Kini, belasan tahun setelah mangrove pertama di Desa Pandansari, telah mengubah desa tersebut menjadi tempat paling dicari di Kabupaten Brebes. Deretan pohon mangrove yang membentang ratusan hektar menjadi pemandangan langka untuk ditemui. Tiap hari, ratusan orang mendatangi wilayah tersebut untuk berekreasi. Wisata mangrove telah menghidupkan wilayah tersebut dari daerah antah berantah, menjadi keindahan yang dicari setiap orang. (Dompet Dhuafa/Zul)