Ketika Badai Menimpa Tetangga

Iklim sedang tak bersahabat. Sejumlah kawasan diamuk badai. Negeri sesama anggota ASEAN, Filipina, mendapat cobaan berat. Badai Haiyan menyapu, mengkibatkan kerusakan dan kematian dalam radius yang luas. Pemerintah setempat memperkirakan korban tewas sampai 10 ribuan orang. Warga yang selamat, mengalami situasi krisis tanpa sempat memperoleh pertolongan segera. Media massa terus-menerus memotret derita orang-orang yang mengungsi di puing-puing bangunan, dalam dingin, basah dan lapar.

Mungkin saya salah, bahwa sejauh ini belum terdengar masifnya penanggulangan bencana oleh kekuatan masyarakat sipil di sana; belum pula terdengar imbauan otoritas setempat untuk antisipasi kondisi seberat ini. Kita sebagai bangsa besar turut prihatin.

Sudah sepantasnya Indonesia membantu. Tiga hal penting yang patut menjadi bahan refleksi.
Pertama, betapa pentingnya elemen masyarakat sipil di sebuah negeri. Keterampilan dan kesigapan menolong siapapun yang tertimpa kemalangan, menjadi kekuatan alternatif dalam mengantisipasi situasi terburuk di manapun. Masyarakat sipil, termasuk lembaga zakat merupakan kekuatan mandiri yang fleksibel bergerak. Semakin kokoh kekuatan ini, dunia, bukan hanya negerinya, memetik maslahat. Dukungan publik di Indonesia terhadap kiprah lembaga sosial/kemanusiaan semacam ini, menjadi nilai lebih sebuah bangsa. Bahkan kontributif bagi ketahanan nasional.

Kedua, edukasi publik amat penting. Masyarakat yang aman dan damai, perlu siaga bencana, paham bagaimana mengurangi risiko bencana. Ia juga perlu peduli bangsa lain yang ditimpakemalangan. Bersyukur, menjadikan sebuah bangsa siap menolong bangsa lain. Tak perlu ada gugatan “di sini saja banyak orang susah, ngapain menolong yang jauh-jauh?” Ingat, saat tsunami, Indonesia banyak dibantu bangsa lain tanpa diminta. Membantu Filipina, bahkan membantu Iran, Amerika, Jepang dan lainnya, saat mereka ditimpa kemalangan, sama saja: atas nama kemanusiaan. Karena mereka pun siap membantu siapa saja.

Ketiga, pentingnya peneguhan positioning lembaga kemanusiaan Islam (misal: lembaga zakat), bahwa membantu bangsa lain bahkan yang mayoritas nonmuslim, tetap sah atas nama kemanusiaan, karena lembaga sosial-keagamaan ini berdiri tegak di atas landasan rahmatan lil’alamin, keharusan, kepatutan bahkan kesanggupan menebar rahmat bagi sekalian alam. Dan Filipina, negeri mayoritas Katholik ini, bukan wilayah tabu untuk berkiprah. Dunia menjadi mengerti, Islam itu rahmat bagi semua orang. Bahkan mereka yang berbeda keyakinan. Sebagaimana badai yang tak pandang bulu mau menerpa siapa, Islam pun, agama humanis untuk semua orang. Maka, publik donatur lembaga kemanusiaan Islam pun seharusnya tak akan menyoal berkiprahnya lembaga zakat di kancah kemanusiaan global.