20 Mei Kebangkitan Nasional, Titik Balik untuk Indonesia Move On

Di tengah menjamurnya berbagai minimarket, sebuah warung berukuran 3 x 2,5 meter masih berdiri tegak. Warung sederhana di kawasan Kampung Gintung, Cirendeu, Ciputat Timur, Tangerang Selatan itu bertahan sebagai sumber penghidupan seorang Sari Surdja (59).

Usianya boleh melebihi setengah abad, tapi tangannya masih cukup cekatan menata tumpukan bungkusan beraneka warna yang berisi makanan ringan itu. Sesekali ia menghitung dan berhenti ketika ada sejumlah anak dengan suara sedikit cempreng memanggilnya karena ingin membeli snack seharga Rp. 500-an.

Begitulah gambaran aktivitas harian Sari Surdja di warung sederhana miliknya. Usaha warung kebutuhan warga sehari-hari itu adalah sumber penghidupan nenek tiga cucu ini.

Namun, Sari mengaku usahanya tersebut mengalami titik nadir selama 10 tahun terakhir. Ia bergulat dengan ketidakpastian perekonomian negeri dewasa ini. “Apalagi ketika mulai banyak bermunculan minimarket-minimarket itu. Dulu masih banyak yang beli ke warung saya, tapi sekarang (se-)dikit,” kata Sari.

Kondisi tersebut dinilai Sari mencekik para pedagang kecil seperti dirinya. Memenangi kompetisi dagang bersama minimarket dengan komoditas yang sama terbilang sulit, kalau tidak bisa dikatakan mustahil.

Penghasilan warung Sari sendiri menurun drastis. Ditambah lagi sejak 2008 Sari ditinggal wafat sang suami. Sang suami merupakan penyokong utama penghasilan keluarga yang bekerja sebagai sopir pribadi.

Lain Sari, lain pula yang dialami Syafri (46), seorang pembuat tahu di Bogor. Ia selalu kesulitan saat harga bahan baku tahu, kedelai, meroket lantaran langka. Lebih jauh, hal tersebut lantaran kebijakan impor yang diterapkan.

Kenaikan harga kedelai melahirkan persoalan bagi para pengrajin tahu seperti Syafri. Imbasnya, mereka menaikkan harga jual seraya memperkecil ukuran tahu. Hal tersebut terakhir ia terpaksa lakukan September tahun lalu demi keberlangsungan usahanya yang berbasis rumah tangga. “Saya naikin harga jualnya. Ukuran tahu dikecilin. Kalau gak gitu mana bisa nutup modal dan ongkos produksi,” ungkap Syafri.

Syafri adalah potret para pelaku usaha mikro yang rentan terpuruk bila “lindu” ekonomi mengguncang seperti saat kenaikan harga kedelai. Mereka menjalani usaha dengan terseok-seok. Mereka adalah potret pengrajin tahu yang “dipaksa” gulung tikar lantaran tidak sanggup lagi membeli kedelai.

Persoalan impor juga menjadi perhatian para peternak kecil seperti Inin (54) di Bogor. Para peternak lokal dibuat resah tatkala keputusan Menteri Perdagangan Nomor 699/M-DAG/KEP/7/2013 tentang Stabilisasi Harga Daging Sapi diterbitkan. Dengan kebijakan itu pemerintah membuka keran impor sapi siap potong besar-besaran.

Inin memang tak merasakan langsung efek dari importasi daging sapi yang dilakukan pemerintah karena yang ia geluti adalah ternak domba dan kambing. Namun, ia bisa merasakan bagaimana kekhawatiran rekan-rekannya sesama peternak. “Karena daging impor umumnya lebih murah,” katanya. Tak menutup kemungkinan, ke depannya pemerintah juga akan mengimpor daging kambing dari luar.

Menurutnya, dengan adanya impor menjadikan para peternak lokal kalah bersaing. Ia berharap ke depannya pemerintah tidak mesti melakukan impor. “Yah, kita aja (para peternak lokal) yang diberdayakan. Kalau pemerintah fokus untuk berdayakan peternak lokal akan mampu. Gak usah impor-impor,” papar Inin.

Momentum Kebangkitan Indonesia, Move On..!
Kisah ironi para pelaku usaha kecil di negeri yang kaya akan sumber daya ini tak henti-hentinya membuat kita menghela nafas panjang. Ke manakah kelompok rentan ini dapat mengadu, situasi yang kurang bersahabat memaku mereka di bawah garis dhuafa. Tentu masih banyak “Sari, Syafri, dan Inin” yang lainnya, yang terhimpit hidupnya karena semakin menggurita jangakuan bisnis para pemilik modal besar di negeri ini. Regulasi yang juga masih setengah hati mengakibatkan mereka semakin sulit menggerakkan usahanya.

Menjadi tak cukup puluhan program pro-poor yang telah digelontorkan Dompet Dhuafa selama 20 tahun membawa lebih cepat mayoritas dhuafa Indonesia mendapatkan kembali hak-hak dasarnya manakala instrumen kebijakan belum ramah dan berorientasi charity saja. Gambaran kisah para pelaku usaha kecil di atas menjadi salah satu alasan Dompet Dhuafa menggelar Kongres Kemandirian II pada Selasa, 20 Mei mendatang. Sebanyak 100 tokoh bangsa akan hadir untuk merumuskan konsep kemandirian bangsa.

Melalui Kongres Kemandirian II diharapkan rumusan kemandirian hasil urun rembug para tokoh yang berlatar belakang akademisi, praktisi, dan aktivis di bidangnya masing-masing menjadi lebih didengar, lebih menjelma. Sebab sejatinya keberpihakan kepada ekonomi mikro yang banyak bergerak di sektor riil berkontribusi kepada fundamental ekonomi. Hasil rumusan berupa Petisi Kemandirian akan disampaikan kepada berbagai pemangku kebijakan, termasuk para calon presiden.

“Karena momentum menjelas pilpres (pemilihan presiden), maka kita sebut kongres kedua ini Kongres Kemandirian II, petisi seratus tokoh untuk calon pemimpin. Kita berharap ini semacam masukan-masukan untuk calon presiden,” kata Presiden Direktur Dompet Dhuafa Filantropi Ahmad Juwaini.

Hari Kebangkitan Nasional dan gelaran pilpres menjadi momentum tepat bangsa ini bangkit (move on) untuk mandiri. Pasalnya, sebagai sebuah bangsa, Indonesia tidak hanya dianugerahi jumlah penduduk yang besar namun juga sumber daya alam yang melimpah dan beragam kearifan lokal.

“Selain kegiatan Dompet Dhuafa yang bersifat langsung membantu orang-orang miskin, Dompet Dhuafa juga mendorong agar bangsa ini dalam pengelolaan negaranya menjadi bangsa yang mandiri,” terang Ahmad.

Lebih lanjut Ahmad menerangkan, dibanding Kongres Kemandirian I yang digelar pada 2011, Kongres Kemandirian II akan lebih berfokus pada konsep kemandirian dan juga implementasi program. Pada konsep kemandirian, akan dirumuskan bagaimana terwujudnya kemandirian ekonomi, kemandirian budaya, kemandirian pangan, energi, dan lingkungan, serta kemandirian politik, hukum, dan pertahanan.

Terkait implementasi program, kongres kali ini seluruh tokoh akan bertemu meramu poin-poin rumusan yang telah dibahas untuk menghasilkan apa yang bisa dikolaborasikan dalam tataran aksi. Dengan begitu, kongres tidak hanya meninggalkan sebuah petisi, tetapi juga kontribusi nyata bagi kemandirian negeri.

Sebagai sebuah gerakan civil society 20 tahun lebih berkiprah, Dompet Dhuafa mempresentasikan dan menawarkan berbagai model pemberdayaan yang selama ini dilakukan. “Ada dua program utama, Revolusi Peternakan dan Indonesia Berdaya. Terutama tentang peternakan, karena itu terkait dengan kedaulatan pangan. Melalui program Indonesia berdaya, bagaimana agar lahan-lahan kita bisa lebih produktif, tidak dikuasai asing,” terang Ahmad.

Lebih dari itu, hadirnya Kongres Kemandirian II Dompet Dhuafa ini diharapkan dapat melahirkan gerakan kebaikan, mendorong kelompok pakar dan tokoh mendentumkan ikrar keberpihakan bersama-sama merealisasikan hasil rumusan kongres.

Bangsa ini membutuhkan Kemandirian, ia harus direbut, menjadi pengikat Sabang sampai Merauke. Hampir 106 tahun sudah sejak 1908 saatnya Indonesia memutuskan titik balik kebangkitan. Sebab Indonesia adalah Kita, saya dan saudara. Bismillah. (gie)