Agar Asa Siswa Marginal Tetap Hidup

“Saya bangga bisa bersekolah di sini, selain menuntut ilmu, saya juga banyak meraih prestasi di sekolah ini,” ujar Akhmad Zikri (13), salah satu siswa SMART Ekselensia Indonesia Dompet Dhuafa, saat mengungkapkan kesan-kesannya selama menuntut ilmu di sekolah gratis milik Dompet Dhuafa ini.

Zikri yang tengah duduk di bangku kelas 2 SMP ini menambahkan, menginjak 2 tahun bergabung dengan SMART, pengalaman yang dirasanya sangat berkesan. Ia dapat berkenalan dan bersahabat dengan teman-teman yang berasal dari berbagai daerah di seluruh nusantara .

“ Kita bisa belajar bahasa daerah, sepeti bahasa Sunda. Saya juga tahu bahasa Sunda karena bersekolah di SMART ini, bisa nambah wawasan pastinya dalam hal keilmuan,” ungkapnya bersemangat.

Siswa yang aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler futsal dan jurnalistik ini juga menceritakan awal mulanya menjadi siswa SMART. Saat duduk di kelas 6 SD Banjarmasin, Kalimantan, seorang guru yang juga menjadi wali kelasnya memberikan pengumuman mengenai SMART. Brosur tentang SMART pun dibagikan sang guru.

Saat itu, Zikri, demikian ia akrab disapa, membaca dengan penuh teliti brosur tersebut. Merasa tertarik, akhirnya ia bawa brosur SMART ke rumah. Dengan penuh rasa senang dan semangat ingin bersekolah lagi, ia memberitahukan brosur tersebut kepada ayah dan ibunya.

Orang tuanya menyerahkan keputusan tersebut terhadap Zikri. Orang tuanya mendukung penuh, asalkan itu demi kebaikan Zikiri dan masa depan pendidikan. Tidak ada rasa was-was dan takut jauh dari orangtua ketika ia memantapkan hati untuk menuntut ilmu. Padahal, anak-seusianya jarang mau berjauhan dengan orang tuanya saat masih menikmati masa anak-anak.

“Saya nggak mau sedih, karena saya berusaha membanggakan orang tua dan adik saya, meneruskan pendidikan untuk menuntut ilmu memang sudah menjadi harapan saya sejak dulu,” ujar siswa yang gemar membaca buku kisah inspratif dan cerita fiksi (karangan) ini.

Zikri menuturkan, ayahnya adalah seorang sopir di sebuah perusahaan pertambangan batu bara. Sang ibu hanya sebagai ibu rumah tangga. Pernah suatu ketika ia mendengar percakapan orang tuanya bahwa mereka tidak memilki uang tabungan yang cukup untuk membiayai Zikri dan adiknya.

Mendengar percakapan tersebut, Zikri semula merasa tidak ada harapan untuk bisa melanjutkan pendidikan. Namun, dalam hatinya ada tekad dan keinginan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat selanjutnya.

Setelah bergabung di SMART, siswa kelahiran Banjirmasin ini menorehkan segudang prestasi. Ia berhasil  meraih medali perunggu pada Kompetisi Silat tingkat internasional yang diadakan di Kalimantan Timur tahun lalu saat ia masih duduk di kelas 7 SMP. Ia juga aktif  menjadi perwakilan SMART membawakan tari saman untuk mengisi acara di kegiatan-kegiatan yang diadakan sekolah di luar daerah.

Siswa yang bercerita-cerita menjadi menteri keuangan ini ingin memberangkatkan haji kedua orang tuanya. Meski orang tuanya hidup dalam keterbatasan ekonomi, ia tetap yakin bahwa suatu saat, ibu dan ayahnya bisa merasakan kehidupan yang lebih layak melalui kesuksesan dirinya.

“Harus yakin, bahwa Allah akan mewujudkan mimpi-mimpi saya agar orang tua saya juga bisa merasakan kebahagian,” ujarnya berharap.

Entas kemiskinan dengan pendidikan

Sejak mulai berdiri di tahun 2004 hingga tahun ajaran 2013, SMART telah menjaring sebanyak 370 siswa marginal (dhuafa) yang berasal dari 26 provinsi di Indonesia. Sekolah bebas biaya, unggulan, berasrama, dan akselerasi pertama di Indonesia ini memiliki tradisi meluluskan 100 persen alumninya masuk perguruan tinggi negeri (PTN) terakreditasi A.

Di akhir tahun 2013, merespons tanggapan positif banyak pihak (pengusaha, birokrat, komunitas masyarakat, dan lain sebagainya) yang ingin memetik manfaat dan menduplikasi sistem unggul pendidikan di SMART, Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa meluncurkan program Warasosial SMART Ekselensia.

Deputi Direktur Pendidikan Dompet Dhuafa Sri Nurhidayah, menuturkan, setiap kali ada diskursus mengenai kemiskinan, maka pendidikan selalu menjadi harapan utama bagi pengentasannya. Namun ia menuturkan seiring waktu berjalan, pendidikan tidak pernah menjadi prioritas. Syarat keberhasilan program pendidikan membuat banyak pihak menyerah. Syarat itu adalah waktu yang tidak sebentar, dana yang cukup besar, dan komitmen untuk terus konsisten menjalankan program.

“Negara yang sedang mengalami keterpurukan, harapan mereka untuk maju hanya ada di pendidikan. Dan ini bukan hanya sekedar jargon ini adalah penelitian yang longitudinal yang memang secara empiris ada buktinya,” ujarnya.

Ia juga menambahkan, saat ini Indonesia menghadapi dua tantangan dalam dunia pendidikan, kualitas dan pemerataan. Terkait dengan kualitas ia menilai mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Kesenjangan sosial masih terlihat di beberapa sekolah. Pemerataan pendidikan yang belum banyak terjamah anak-anak bangsa, akhirnya menyebabkan mereka sulit untuk mendapatkan pendidikan

“Kesulitan lainnya adalah anak-anak marginal biasanya kalopun masuk sekolah pasti masuk memang secara mutu tidak baik. Dan pada akhirnya mereka juga akhirnya tidak bisa bersaing,” terangnya.

Melihat kondisi tersebut, ia menuturkan,  di usia yang lebih dari 20 tahun ini, Dompet Dhuafa berupaya keras memastikan harapan masyarakat terhadap pendidikan tetap hidup. Bentuk intervensi pendidikan yang dilakukan Dompet Dhuafa menyasar pada mengelola elemen pendidikan seperti siswa, mahasiswa, guru, tata kelola sekolah hingga pengiriman para guru ke pulau-pulau terdepan. Semua digulirkan karena pendidikan adalah hak asasi setiap anak bangsa dan pendidikan terbukti efektif memutus rantai kemiskinan.

“Semuanya untuk mereka, anak-anak pemilik tanah air kita menjadi penerus bangsa agar dapat merasakan nikmatnya meraih ilmu dan mengenyam pendidikan,” harapnya.