Sinar matahari mulai meredup saat pertama kali Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa bertemu dengan Agus Siswanto, lelaki berusia 46 tahun yang dikenal warga sebagai penjual kerupuk Bangka Palembang. Agus dan keluarga tinggal di sebuah kontrakan kecil di belakang Pasar Baru, Jati Asih, Kota Bekasi. Hal yang membedakannya dengan penjual krupuk biasanya, bahwa ia penyandang tunanetra. Sejak usia setahun, ia tidak dapat melihat indahnya warna-warni semesta.
Kondisi serupa juga dialami oleh Sarinah (41), sang istri. Keduanya merupakan pasangan tunanetra yang sudah dikaruniai 3 orang anak. Namun, karena keterbatasan ekonomi, mengharuskannya berpisah dengan anak kedua dan ketiga, yang saat ini tinggal bersama neneknya di Surabaya, Jawa Timur. Adapun si Sulung yang putus sekolah menengah pertama, tinggal bersamanya di Bekasi.
“Ya beginilah keadaannya, saya dan istri sama-sama nggak bisa lihat, tapi kami masih memiliki harapan untuk hidup layak,” ujarnya.
Setahun sudah Agus berjualan kerupuk, sebelumnya ia pernah berprofesi sebagai tukang pijat. Namun karena belakangan ini menjamur tempat-tempat pijat refleksi, ia harus rela meninggalkan profesi yang sudah ditekuninya dengan menempuh pendidikan khusus juru pijat. Terkadang ia dan sang istri menyayangkan banyaknya buku keterampilan pijat yang beredar dan mudah dijangkau masyarakat. Ia menilai profesi tukang pijat terkesan sebagai profesi ‘asal-asalan’ dan bisa dilakukan siapa saja tanpa harus menempuh pendidikan khusus.
Menurutnya, maraknya praktek juru pijat tanpa sertifikat sangat merugikan pasien. Seorang juru pijat harus tahu benar letak susunan otot-otot agar pasien tidak kesakitan atau bahkan pingsan. Terlebih lagi adanya kesan negatif panti pijat sebagai prostitusi terselubung di mata masyarakat saat ini. Hal inilah yang menyebabkan ia menutup panti pijatnya dan beralih menjual kerupuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Saya berhenti jadi tukang urut, sekarang pilih jualan kerupuk, yah memang nggak seberapa penghasilannya, tapi Alhamdulillah semua harus disyukuri,” ucapnya.
Dengan modal seadanya, Agus menjajal peruntungan berjualan krupuk. Setiap pagi dan sore hari ia berjalan kaki menuju lokasi berjualan. Rangkaian pipa paralon beroda yang sudah dirancang untuk berjualan didorongnya menuju tempat menjajakan krupuknya di komplek Perumahan Pemda, Jati Asih, Kota Bekasi. Meski perolehan hasil berjualan yang didapatnya tidak tentu, Agus dan Sarinah tidak pernah mengeluh dan putus asa.
“Saya jual kerupuk perbungkusnya Rp 3.000. Kadang saya bawa 30 bungkus per hari. Paling banyak 20 bungkus laku, tapi paling dikit saya jual 9 bungkus doang sehari, yah begitu dah, tapi tetep bersyukur aja,” ungkapnya.
Jalur menuju tempat berdagang, bukanlah jalur yang mudah dilalui oleh seorang tunanetra seperti Agus. Kondisi jalan yang rusak, dan berbelok-belok serta ditambah harus menyebrang jalan raya yang ramai merupakan tantangan yang harus ia taklukan demi menuju tempat mencari nafkah. Beruntung selalu ada orang yang bersimpati dan berbaik hati menolong untuk menyebrang sehingga Agus dengan mudah sampai ke lokasi berjualan.
Usai berjualan merupakan waktu bagi Agus untuk beristirahat. Tak jarang ia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca Al Quran. Namun dari 114 surat Al Quran, hanya surat Yasin-lah yang dibacanya. Bukan tanpa sebab ia tidak membaca surat Al Quran lainnya. Di Bekasi ia hanya mempunyai buku surat Yasin Braille. Sedangkan Al Quran Braille lengkap 30 juz miliknya sengaja ditinggalkan di rumah orang tuanya di Surabaya. Tidak mudah memindahkan Al-qur’an Braille dari Surabaya ke Bekasi. Jumlah dan ukuran al-qur’an Braille yang sulit “ditenteng” menjadi kendala pertama yang dihadapi. Kalau pun mengirimnya melalui jasa pengiriman, keterbatasan dana merupakan faktor yang membatasinya.
Maklum, keuntungan dagang krupuk yang diperolehnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok makan sehari-hari dan kontrakan tempat tinggal. Walaupun memiliki keterbatasan, pantang bagi Agus untuk menyerah dan berhenti berupaya. Baginya tak apalah hanya membaca surat Yasin, daripada tidak sama sekali. Kemampuan membaca huruf hijaiyah Braille harus disyukuri dengan rajin membaca al-qur’an, walau hanya satu surat.
“Saya hanya buta penglihatan, tidak buta harapan”, ungkap Agus berpuitis.
Adakalanya Agus libur berjualan. Bukan karena malas atau letih tentunya, ia tidak berjualan lantaran tidak ada modal untuk membeli krupuk lagi. Hasil dari berjualan krupuk sebelumnya, terkadang terpakai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak. Dalam kondisi seperti ini, ia dan sang istri hanya dapat berusaha mencari bantuan pinjaman dari tetangganya.
“Iyah, saudara saya pun rata-rata hidupnya sama seperti saya, jadi paling kalo butuh banget modal saya pinjam tetangga saya,” terang Agus.
Melihat semangat dan kegigihan hidup yang dijalankan Agus dan Sarinah, tim survei Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) Dompet Dhuafa, memberikan bantuan dengan menambah modal usaha berjualan kerupuk bangka. Mendengar hal itu, ia benar-benar sangat bersyukur dan sangat berterima kasih dengan Dompet Dhuafa yang mau membantunya.
“Alhamdulillah, terima kasih Dompet Dhuafa, saat ini saya benar-benar bahagia dan bisa bersyukur,” pungkasnya. (uyang/gie)