Anik Purwanti, Usaha Jamur Krispi Seusai Mengembara Ke Luar Negeri

SRAGEN– Tidak pernah terpikirkan oleh Anik Purwanti (33) bekerja untuk menutupi hutang puluhan juta rupiah. Kejadian ini bermula selepas Anik lulus SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) di Sragen. Sekolahnya ada kerjasama dengan penyalur tenaga kerja untuk bekerja di berbagai kota di dalam maupun luar negeri. Saat lulus, sekolahnya membuka penyaluran ke Jepang. Anik pun mengikuti berbagai pelatihan seperti bahasa dan budaya. Tentu saja, semua pelatihan itu harus dibayar dengan biaya yang tidak sedikit.

Pelatihan pun selesai, tinggal menunggu visa. Sayang, bos penyalur tenaga kerja kabur dan membawa semua uang dari calon tenaga kerja. Sekolah pun tidak bisa berbuat apa-apa. Biaya sekitar tiga puluh juta yang didapatnya dari pinjaman dari bank membuat Anik pusing. Ia bingung bagaimana cara mengembalikan uang tersebut beserta bunganya. Bersyukur, pinjaman tersebut sudah dibayarkan oleh saudara-saudaranya. Anik pun harus membayar pinjaman ke saudaranya.

Dalam kondisi yang menganggur dan berhutang tersebut, Anik bertemu dengan salah satu pegawai PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia). Akhirnya Anik pun berkerja selama dua tahun di Singapura dan menjadi Asisten Rumah Tangga (ART) untuk mengembalikan pinjaman tersebut.

Karena merasa tak cukup, Anik pun kembali ke Sragen. Setelah pulang selama dua minggu, ia kembali menjadi ART di Hongkong. Selama 4,5 tahun Anik menjadi ART di sana. Saat itu di dalam benak Anik adalah bagaimana caranya agar ia bisa mengembalikan pinjaman.

 “Saya tidak pernah berpikir jauh untuk menabung. Saya hanya berpikir bagaimana caranya agar hutang saya terbayar,” cerita Anik melalui telepon pada Jumat (6/11). Walau begitu, Anik selalu menganggarkan uang untuk ibunya.

Menjadi TKI bukan cita-cita Anik. Oleh karena itu, setelah 4,5 tahun bekerja dan ada kesempatan pulang, Anik tidak berpikir untuk kembali ke Hongkong. Dengan tabungan yang ada, ia belajar berbudaya dan berbisnis jamur krispi. Selama lebih dari tiga tahun, Anik bersama ibunya berjualan jamur untuk dijual di alun-alun. Namun karena alasan tertentu, Anik memutuskan untuh hanya membuat jamur krispi. Jamur tiram yang digunakan Anik dapat dari petani jamur di dekat rumahnya.

Diakui Anik, usahanya memang kurang berkembang. Alhamdulillah, ia dipertemukan dengan Pak Asmadi. Pak Asmadi inilah yang menyarankan Anik untuk memperbagus kemasan dan mengurangi kadar minyak dalam jamur kripsinya. Tak lupa, Anik juga memberikan nama jamur kripsi produksinya yaitu ‘Durtija’. Setelah jamur krispinya mempunyai nilai jual, Pak Asmadi pun membantu menjualkan di tokonya. Inovasi lain pun dilakukan Anik dengan memperbanyak rasa yang awalnya hanya original saja. Kini ada empat varian rasa jamur krispinya yaitu pedas, keju, dan sapi panggang. Jamur krispinya kini sudah melanglang buana ke berbagai kota di Pulau Jawa dan Kalimantan. Omzet yang didapat Anik tiap bulannya kini mencapai belasan jutan rupiah.

Keinginan kerjasama dari berbagai pihak pun berdatangan. Namun, produknya yang belum mempunyai label halal dan ijin dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) cukup menghambat usahanya. Dari sinilah ia bertemu dengan salah satu staf dari Migrant Institute, salah satu jejaring Dompet Dhuafa. Mereka berjanji untuk membantu mengurus ijin BPOM dan label halal pada jamur krispinya.

Semoga dengan bertemunya Anik dengan Migrant Instite bisa meningkatkan usaha jamur krispinya. Mungkin kedepannya tak hanya masyarakat Indonesia yang menikmati jamur krispi buatan Anik, tetapi juga masyarakat Singapura dan Hongkong yang pernah menjadi Negara tempat ia bekerja. (Dompet Dhuafa/Erni)