Antusias Kurban di Desa Cintamanik

GARUT-Jalan tanah itu berkemiringan sekitar 450. Bebatuan sengaja diatur sedemikian rupa agar bisa menjadi pijakan orang saat melewatinya. Bagi orang yang tidak terbiasa, melewati jalan tersebut bisa menjadi beban tersendiri.

Saat itu waktu menunjukkan pukul satu siang. Seorang ibu paruh baya membawa sebuah baskom besar berisi sekitar tiga puluh kantong daging domba dengan berjalan kaki. Masing-masing kantong tersebut beratnya seperempat kilogram. Dia bersama anaknya harus melewati jalan tanah kering dan terjal untuk membagikan daging kurban tersebut kepada tetangganya yang berada di Desa Cintamanik, Kampung Cibangkong, RT 06, RW 02, Kecamatan Karang Tengah, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

“Jalan segini mah biasa, Neng. Di atas jalannya lebih miring lagi”, ujar sang ibu menjelaskan.

Walau harus melalui perjalanan yang tak mudah, namun wanita ini tetap semangat. Bersama putranya, dia membagikan tujuh puluh kantong daging kurban kepada 70 kepala keluarga (kk) di desa tersebut.

Selama lima tahun terakhir warga Desa Cintamanik selalu antusias menunggu kedatangan 10 Dzulhijah. Mereka menantikan lezatnya daging kurban yang hanya bisa mereka santap setahun sekali itu dari pekurban yang berkurban di Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa. Pada tahun ini ada enam daging domba yang dikurbankan di desa ini. Dari jumhlah tersebut bisa menghasilkan seratus kantong daging dengan berat seperempat kilogram. Jumlah kepala keluarga di Desa Cintamanik sendiri hanya ada 75 KK. Oleh karena itu, daging yang masih sisa dibagikan ke RT lain.

Ketua RT 06, Ojat Darojat (49) yang juga mitra Kampung Ternak Nusantara (KTN) Dompet Dhuafa mengatakan tidak ada lembaga lain yang datang ke desanya untuk berkurban.

“Cuma Dompet Dhuafa yang datang untuk pemberdayaan ternak di sini”, ujar Ojat.

Hasilnya, Alhamdulillah, warganya bisa memakan daging walau hanya dengan digoreng dan bumbu uyah (‘garam’ dalam Bahasa Sunda-red). Kemiskinan yang membelit, membuat warga tersebut kesulitan mendapatkan uang. Sebagian besar dari warga Desa Cintamanik adalah buruh tani. Mereka tidak mempunyai lahan untuk ditanami. Mereka hanya bekerja kalau ada yang menyuruh. Diantara mereka bahkan tidak mampu membeli beras miskin (raskin).

Sebagian besar warga paruh baya di Desa Cintamanik hanya lulus sekolah dasar (SD). Itu pun banyak yang tidak lulus. Lepas sekolah, mereka lebih memilih menjadi buruh tani. Agak berbeda dengan generasi mudanya. Mereka bisa melanjutkan pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sayangnya, mereka tidak mekanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka lebih memilih merantau menjadi tukang sol atau pangkas rambut. (Dompet Dhuafa/Erni)

 

Editor: Uyang