Asa Tukang Patri demi Famili

Di era tahun 1990-an, suara ‘kecrek-kecrek’ yang kerap melintas di sekitar lingkungan rumah tentu masih akrab terdengar di telinga masyarakat. Suara tersebut berasal dari tukang patri keliling, unyuk menawarkan jasa menambal peralatan dapur yang bocor, mulai dari panci, penggorengan dan peralatan dapur lainnya.

Kini, suara khas tukang patri tersebut sudah jarang bahkan nyaris punah tidak terdengar lagi. Tidak hanya itu, profesi sebagai tukang patri pun sudah jarang diminati. Kebanyakan dari mereka lebih memilih mengadu nasib menjadi tenaga kerja di luar negeri, dengan iming-iming bayaran yang setinggi langit.

Namun, hal tersebut tidak menggoyahkan niat Rustam, salah satu tukang patri di kawasan Jakarta Timur untuk meninggalkan profesi yang digelutinya sejak puluhan tahun terakhir. Pria berusia 67 ini menuturkan, menjadi tukang patri bukanlah pekerjaan pertama yang dijalaninya, ia juga pernah berdagang sayur-mayur dan buah keliling di sekitar rumahnya.

“Jadi tukang sol sepatu juga saya pernah. Yang penting kerja halal terus dapur tetep ngebul,” ujar Kakek asal Tasikmalaya, Jawa Barat, ini.

Meski penghasilan yang diterimanya dari jasa patri ini sangatlah minim, tidak membuat pria yang akrab disapa Pak Rus ini merasa kecil hati dan terus berkeluh kesah. Baginya, penghasilan yang diraihnya merupakan rezeki yang diatur oleh Tuhan dan harus selalu disyukuri.

“Nggak tentu, kadang Rp 35.000, kadang juga Rp 15.000. Ya, sedapetnya aja. Meski cuma sedikit harus tetep disyukuri,” jelasnya.

Pak Rus menceritakan, sejak tahun 80an ia sudah menginjakkan kaki di Jakarta, merantau mencari nafkah demi keluarganya yang berada di Tasikmalaya. Ia juga pernah merasa hampir putus asa selama tinggal di Jakarta.

Namun, tantangan hidup dan persaingan yang sangat keras di Kota Metropolitan membuatnya memutuskan kembali ke daerah asalnya dan memulai pekerjaan baru. Keadaan tersebut hanya berlangsung beberapa bulan saja dan akhirnya ia bertekad kembali ke Jakarta, mengingat kebutuhan keluarga di kampung halaman yang semakin tinggi.

“Waktu di kampung, jadi buruh di kebon orang kecil banget pendapatannya. Makanya saya pengen balik lagi jadi tukang patri,” ucapnya.

Sesampainya di Jakarta ia tinggal bersama teman sedaerahnya di sebuah kontrakan yang sangat kecil bahkan lebih mirip dengan kamar mandi, yang berada di Jalan Batu Ampar 43, 008/005, Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Kesepian mulai menghinggapi dirinya saat usai berkeliling mencari nafkah, karena teringat anak dan istrinya berada di kampung halaman. Untuk mengobati kerinduannya tersebut, sebulan sekali ia menghubungi sanak keluarganya dengan meminjam telepon genggam milik temannya.

’’Ya kangen banget, kadang kirim uang aja nggak bisa rutin. Denger suara mereka ditelepon udah ilang kangennya,” ujarnya tersenyum.

Melanjutkan profesi sebagai tukang patri keliling di usianya yang semakin menua dirasa Rustam sudah tidak dapat digelutinya lagi. Ia mulai jarang berkeliling, dan hanya berkeliling saat cuaca cerah dan kondisi badan yang sehat.

Atas kondisi tersebut, Pak Rus ingin membuka sebuah usaha kecil seperti warung sederhana dan menikmati masa tuanya di kampung halaman. Namun, modal yang dikumpulkannya selama ini belumlah cukup untuk memenuhi harapan yang diimpikannya tersebut.

Kegigihan dan kesungguhan Pak Rus dalam mencari nafkah demi keluarganya mengundang perhatian Dompet Dhuafa, melalui Lembaga Pelayanan Masyarakat (LPM) pada program Pejuang Keluarga, memberikan bantuan sebesar Rp. 1.020.000 untuk melunasi tunggakan kontrakan dan bantuan penambahan modal usaha.

Pak Rus pun bersyukur. Ia berharap, dengan bantuan tersebut nantinya ia bisa mewujudkan harapan dan impian yang selama ini diinginkannya yakni membuka warung sederhana di kampung halamannya.

Semoga Pak Rus selalu diberikan kesehatan, ketabahan, serta semangat yang tinggi dalam mencari nafkah yang halal meski dengan usia yang tidak muda lagi. (uyang/gie)