Ada ratusan bahkan ribuan kasus korupsi menjerat para pejabat dan pemegang kuasa di Indonesia yang telah disaksikan oleh rakyat. Apa sebenarnya yang membuat perilaku ini sulit menghilang dari Tanah Air? Apakah mungkin kita sebagai bagian dari rakyat juga melakukan korupsi pada hal-hal kecil dalam keseharian? Sahabat.. sepertinya, kita perlu tahu apa saja bentuk bentuk korupsi yang mungkin tidak kita sadari telah kita lakukan.
Bentuk Korupsi dalam Islam
Islam telah mendefinisikan korupsi dengan begitu rinci. Bahkan, ada beragam bentuk korupsi yang mungkin terlewat oleh kebanyakan umat muslim. Untuk itu, kita perlu tahu apa saja bentuk-bentuk korupsi tersebut, agar kita bisa terhindar dari perbuatan keji ini.
Berikut bentuk bentuk korupsi menurut Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an. Antara lain:
1. Ghulul
“Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (ghulul) dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali ‘Imran: 161)
Ghulul berasal dari kata ghalla yaghullu ghallan ghululan yang memiliki makna Khana atau berkhianat, mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi. Ghulul juga dapat berarti penyalahgunaan jabatan, pencurian dana sebelum dibagikan, termasuk di dalamnya adalah dana jaring pengaman sosial.
Selain itu, Ghulul juga bermakna curang dalam bahasa Indonesia. Curang dalam hal ini berarti saat seseorang mengambil sesuatu dengan cara sembunyi-sembunyi kemudian dikumpulkan dengan barang-barang milik pribadinya (tidak jujur).
Contoh bentuk korupsi ghulul misalnya adalah saat seorang pegawai pajak memanipulasi perhitungan pajak sebuah perusahaan agar perusahaan itu membayar pajak lebih sedikit. Pegawai itu pun lalu mendapat keuntungan berupa materi seperti uang atau lainnya dari pemilik perusahaan. Demikianlah kiranya bentuk korupsi ghulul dalam kehidupan sehari-hari.
Ayat di atas juga memberi pesan kepada manusia bahwa apabila kita memiliki kesempatan menduduki tempat mulia (pejabat, dsb), maka janganlah berbuat korupsi, mengambil yang bukan haknya.
Baca juga: Benarkah Sedekah atau Infak dengan Uang Haram Dapat Mengugurkan Dosa Perbuatannya?
2. Akl al-Mal bi al-Bathil
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Ayat di atas menjelaskan tentang bentuk korupsi berupa akl al-mal bi al-bathil atau memakan harta dengan cara yang batil. Memakan harta benda dengan jalan yang salah maksudnya adalah mendapatkan harta dengan jalan yang tidak patut.
Seperti apa contohnya? Segala macam penipuan, pemalsuan, pengelabuan, dan sebagainya. Misalnya, seorang pedagang menjajakan contoh produk terbaik bermutu tinggi. Namun, setelah terjadi kesepakatan pembelian, barang yang diberikan justru kualitasnya di bawah produk contoh.
Atau, misalnya, sebuah bahan pangan pokok di masyarakat seperti minyak goreng sengaja ditimbun dengan harapan harga di masyarakat melambung. Padahal, masyarakat sudah sangat membutuhkannya untuk kehidupan sehari-hari hingga berjualan.
Itulah bentuk korupsi akl al-mal bi al-bathil atau memakan harta dari cara-cara yang batil. Melalui Al-Qur’an, Allah Swt selalu memberi peringatan bagi manusia agar memakan makanan yang halal lagi baik serta bersih yang sesuai dengan fitrah manusia.
3. Sariqah
Istilah bentuk korupsi sariqah terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Ma’idah: 38)
Pada ayat di atas, sariqah diartikan sebagai tindakan mencuri. Para ahli hukum Islam (fukaha) mendefinisikan sariqah sebagai tindakan mengambil harta milik orang lain yang bukan haknya, dari tempat penyimpanan, yang dilakukan oleh orang baligh dan berakal.
Istilah sariqah ini juga berlaku pada definisi korupsi yang merupakan bentuk pencurian atau penggelapan uang negara. Sebab, uang negara adalah milik negara yang digunakan untuk kesejahteraan umum, bukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi.
Baca juga: Pedoman Memilih Pemimpin dalam Islam, Syarat Pokok Ini Wajib Dimiliki
4. Khiyanah
Arti khiyanah secara umum adalah tidak menepati janji atau ingkar janji. Al-Qur’an surah al-Anfal menjelaskan larangan berbuat khiyanah kepada Allah dan Rasul:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27)
Ayat ini merupakan teguran keras dari Allah Swt untuk Abu Lubabah yang telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, yakni tidak setia memegang amanah dalam menjaga rahasia. Dalam Islam, khianat termasuk ke dalam bentuk korupsi dan termasuk dalam sifat orang munafik.
Di Indonesia sendiri, salah satu pangkal penyebab korupsi adalah khianat yang dipraktikkan oleh para pejabat. Seperti kita ketahui, hampir seluruh kegiatan bermasyarakat berhubungan dengan kepercayaan. Itulah sebabnya Allah melarang umat Islam mengkhianati amanah.
Apabila amanah sudah tidak terpelihara lagi, berarti hilanglah kepercayaan. Apabila kepercayaan telah hilang, maka ketertiban hukum tidak akan terpelihara lagi dan ketenangan hidup bermasyarakat tidak dapat dinikmati lagi.
5. Al-Suht
Secara istilah, al-suht berarti memberikan harta kepada seseorang sebagai kompensasi pelaksanaan tugas atau kewajiban yang harus dilaksanakan tanpa harus menunggu imbalan. Baik orang yang memberi, menerima, atau yang menjadi perantara tindakan al-suht termasuk pelaku korupsi. Kata al-suht disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (QS. Al-Ma’idah: 42)
Al-suht pada ayat di atas diartikan sebagai uang haram (suap). Suap yang terdapat dalam ayat di atas ditujukan bagi hakim agar mau memberikan hukuman ringan kepada pelaku zina. Padahal, seharusnya para hakim dapat memutuskan perkara dengan adil sesuai dengan hukum Al-Qur’an yang ada dalam kitab suci.
Dengan demikian, apabila seorang hakim yang mengadili sebuah kasus menerima hadiah dari pihak yang sedang berperkara, maka hakim yang bersangkutan telah melakukan korupsi.
6. Kolusi
Kolusi merupakan bentuk persekongkolan (kerja sama dalam perbuatan yang tidak baik) yang mana tidak diperbolehkan dalam ajaran Islam. Di sisi lain, setiap muslim berkewajiban mencegah perbuatan kolusi, karena pencegahan ini termasuk perbuatan “saling tolong menolong dalam
kebajikan dan ketakwaan” yang adalah perintah Allah Swt.
Kolusi akan berbuntut pada buruknya sistem serta nilai yang dianut suatu bangsa. Sebab, kolusi adalah suatu bentuk kerja sama untuk maksud persekongkolan. Ada dua unsur utama dalam tindakan kolusi, yakni adanya persekongkolan dan salah satu yang melakukannya adalah aparat pemerintahan.
Dalam pandangan Al-Qur’an, kolusi tidak dapat dibenarkan, karena tindakan tersebut merupakan bentuk dari saling tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran yang tidak dapat dibenarkan. Serta, pelakunya tidak akan bisa mencapai derajat ketakwaan karena tindakan kolusinya itu.
Baca juga: Masyarakat dan Negara yang Baik Menurut Islam
7. Nepotisme
Nepotisme berasal dari istilah bahasa Inggris, yakni nepostism yang berarti memprioritaskan keluarga, kelompok, atau golongan tertentu untuk diberi kekuasaan/jabatan. Dalam Islam, nepotisme juga dimasukkan dalam kategori korupsi.
Al-Qur’an pun tegas melarang perbuatan nepotisme, karena ini merupakan bentuk ketidakadilan. Baik itu terhadap diri sendiri, kerabat, apalagi rakyat. Mengapa? Sebab, tindakan nepotisme tidak menempatkan seseorang secara setara, sesuai dengan kompetensi dan kapasitasnya.
Namun di sisi lain, apabila memang tidak ada lagi orang yang pantas menjalankan wewenang dan kekuasaan yang menyangkut urusan publik selain orang yang berasal dari kerabat, maka tindakan ini boleh dilakukan. Pemberian kekuasaan ini dilakukan bukan karena faktor kerabat, tetapi lebih kepada faktor kompetensi dalam mengemban amanah. Sebab, itulah yang lebih adil dan lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Kasus seperti ini memiliki alasan pembenaran dari Islam. Secara naqli, dapat dilihat dalam kasus pengangkatan Nabi Harun sebagai pemegang amanah kepemimpinan selama Nabi Musa tidak ada. Hal tersebut dilakukan karena memang hanya beliau yang pantas menggantikan Nabi Musa.
“Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: ‘Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. Al-A’raf: 7)
Nabi Musa pun tetap memperlakukan saudaranya secara profesional dengan memberikan arahan-arahan tugas. Ssehingga, meski Nabi Harun adalah saudaranya, ia tetap harus menjalankan amanah yang diberikan yang akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari.
Demikianlah tujuh tindakan yang termasuk bentuk korupsi dalam Islam. Semoga kita semua dapat memahaminya dengan baik, dan berusaha menghindarkan diri dari perbuatan buruk ini. Aamiinn… (RQA)