Bermodal ‘Sajuta’ Membina Penderita Psikotik

Kumuh, bau pesing di sana-sini, dan sampah berserak dimana-mana menjadi pemandangan lazim dari sebuah bangunan tua di tepi Jalan By Pass Ir H Djuanda, Tasikmalaya. Dindingnya banyak lubang dan coretan-coretan arang hitam. Jika malam tiba, suasananya sangat gelap, kecuali beberapa lampu penerangan yang masih tersisa. Lampu jalan di depan bangunan itu pun tidak menyala. Kalau hujan, atap sudah pasti bocor. Melihat bangunan itu, siapa pun berpikir jika bangunan bekas terminal Cilembang yang terakhir digunakan lima tahun lalu itu sangat tidak layak untuk ditempati. Tapi siapa menyangka, di balik bangunan kumuh dan tua itu ada sebuah yayasan sosial di dalamnya. Ya, sebuah yayasan sosial yang serba sederhana, terbatas dan minimalis untuk merehabilitasi penderita psikotik, atau yang lazim kita sebut (maaf) orang gila. Yayasan itu bernama Keris Nangtung.

Sebelum tiga tahun lalu, jalan-jalan di kota Tasikmalaya banyak ditemui orang terlantar yang menderita gangguan jiwa. Kehadiran mereka seringkali meresahkan warga, karena pakaian mereka yang lusuh compang-camping, tubuh yang bau, kotor, dan sering berbicara sendiri. Sehingga tidak heran jika banyak warga yang selalu menjauh ketika bertemu, atau bahkan mengusirnya.

Namun sejak 2008, jalan-jalan di Tasikmalaya sangat jarang ditemui ‘orang gila’. Adalah Dadang Heriyadi (42), bersama dua orang temannya, Taufik dan Ahmad Rovi (45) yang berperan dibalik ‘pembersihan’ jalanan dari orang-orang ‘tidak waras’. Mereka lah pencetus sekaligus pendiri yayasan ini.

Mereka bukan pegawai pemerintah, hanya warga biasa. Berawal ketika suatu hari Dadang  melihat seorang penderita gangguan jiwa sedang mengambil sisa-sisa makanan dari tumpukan sampah yang diurainya, lalu dilahapnya. Rasa getir sekaligus iba muncul seketika. “Karena mereka juga manusia. Kenapa tidak ada perhatian untuk mereka. Mereka bisa kembali normal jika diberi perhatian,” kata Dadang mengisahkan awal didirikannya Keris Nangtung. Dadang lalu mengajak temannya, Taufik dan Rovi membentuk yayasan.

Bagi Dadang, mengurusi penderita psikotik menjadi pilihan hidupnya untuk mengabdi pada kemanusiaan, hanya dengan bermodalkan Sajuta (Sabar, Jujur, Tawakal). Demi amal kemanusiaan mengurusi orang-orang ini, pria bersahaja ini harus ‘menggadaikan’ enam tahun profesinya sebagai karyawan outsourcing di PLN. Beruntung istri dan keluarga Dadang mendukung ‘langkah aneh’-nya meski penuh kecemasan di awalnya.

Sejak didirikan tiga tahun lalu, sudah 300 lebih penderita psikotik yang diambil dari jalanan kota Tasikmalaya. Tak kurang dari 100 orang yang sudah kembali sadar dan kembali kepada keluarga mereka. Sebagian lagi ada yang kabur. Saat ini masih ada 84 penderita psikotik yang masih ‘nyantri’ di Keris Nangtung. Mereka menempati enam kamar bekas kios-kios berukuran  5×6 meter dan 6×8 meter.

Sejak tidak lagi digunakan sebagai terminal tahun 2006, bangunan seluas 2 hektar ini pernah disalahgunakan masyarakat menjadi lokasi prostitusi liar. Banyak kios yang berubah menjadi ‘café’ remang-remang, sehingga awal 2008 pemerintah kota Tasikmalaya membongkar paksa cafe-cafe tersebut. Bekas kios-kios itulah yang dipakai sebagai kamar ‘para santri’.

“Bangunan ini banyak rumput ilalang dulunya. Pernah dipakai sebagai cafe remang-remang sampai akhirnya dibongkar paksa petugas dan atapnya dihancurkan. Ya untuk dakwah juga, maka saya pakai untuk yayasan. Saya bersihkan, dibuatkan pagar bambu dan atap dibuat dengan bahan apa adanya supaya tidak dipakai lagi untuk prostitusi,” cerita Dadang.

Setiap hari, pengurus Keris Nangtung membina mererka tanpa segan. Memberi makanan, olah raga, musik, sampai pengajian. Entah, mereka ini paham atau tidak ketika dikuliahi pengajian. Bahkan tidak segan para pengurus juga memandikan mereka setiap pagi, diberikan pakaian yang lebih layak dan kamar-kamar mereka selalu dibersihkan. Selain Dadang, Rovi, dan Taufik, ada enam orang lain lagi yang membantu mengurus. Beberapa pengurus malah dulunya ‘alumni’ yang juga ‘menyantri’ di yayasan ini. Setelah kembali sadar, mereka lebih mengabdikan diri untuk ikut membina daripada kembali ke keluarganya.

“Kami butuh tempat yang lebih leluasa untuk aktivitas. Kalau di sini bekas terminal, mereka banyak menganggur, dan tidak layak untuk rehabilitasi sebenarnya. Para ‘orgil’ itu perlu aktivitas yang nantinya mempercepat kesembuhan mereka,” demikian harapan Dadang.

Perlu Kepedulian Lebih

Pada dasarnya, para penderita sakit jiwa juga adalah bagian dari masyarakat, hanya status sosial mereka berada pada tingkat yang paling rendah. Oleh karena itu, mereka seringkali tersisihkan dari kehidupan karena dianggap tidak lagi berguna.

Sebagai lembaga kemanusiaan, Dompet Dhuafa sangat mengapresiasi kerelawanan dan kepedulian Yayasan Keris Nangtung mengurusi para penderita penyakit jiwa ini. Apresiasi ditunjukkan dengan membantu subsidi biaya operasional Rp8 juta per bulan, dan mendirikan bangunan yang lebih layak untuk pusat rehabilitasi psikotik. Pusat rehabilitasi senilai Rp 500 juta ini nantinya akan dipinjamkan kepada Yayasan Keris Nangtung pemberdayaan para psikotik.

Namun demikian, usaha membantu para penderita penyakit jiwa ini tentu memerlukan kesediaan dan kerelawanan banyak pihak dan bahu membahu. Tidak cukup Dompet Dhuafa. Karena hakikatnya, mereka adalah kelompok duafa yang perlu bantuan dan bimbingan agar dapat kembali hidup normal dan menjalani aktifitas sebagaimana manusia lainnya.[]