Catatan Akhir Tahun; Wajah Kemiskinan (Negeri) Kita

Esok, menjadi penghujung dari tahun 2011. Dunia akan memasuki tahun baru, 2012. Namun bagi Indonesia, pergantian tahun masih menyisakan banyak persoalan yang belum terselesaikan. Permasalahan paling mendasar bangsa ini adalah soal kemakmuran dan kesejahteraan. Pemerintah menggencarkan berbagai program pembangunan dan investasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu dibanggakan menaik dalam tiga tahun terakhir, bahkan ketika dunia dilanda krisis. Tapi justru realitas kemiskinan di negeri ini nyatanya masih sangat besar. Gemerlap pembangunan menjadi paradoks bagi kenyataan kemiskinan.

Menjelang penghujung tahun ini laporan dari United Nations Development Program (UNDP) tentang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia cukup mengejutkan. UNDP merangking kualitas hidup orang Indonesia berada di peringkat 124 dari 187 negara yang disurvei. Peringkat Indonesia jauh di bawah negara-negara ASEAN, kecuali Laos dan Myanmar. Sebenarnya IPM Indonesia tahun ini merangkak naik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Namun sayangnya, peningkatan ini tidak signifikan, bahkan ironisnya masih dibawah rata-rata kualitas hidup masyarakat dunia.

Tentu bukan saja tidak menggembirakan, tapi laporan ini menjadi kado akhir tahun yang semakin memperjelas bagaimana sesungguhnya wajah kemiskinan di Indonesia dan dampak pembangunan yang selama ini dilakukan terhadap kondisi kesejahteraan masyarakatnya. Karena IPM merupakan pengukuran perbandingan harapan hidupmelek hurufpendidikan dan standar hidup untuk semua negara, dimana indikator-indikator tersebut berkaitan erat dengan kualitas kesejahteraan. IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah negara itu termasuk dalam kategori negara majuberkembang atau malah terbelakang.

Tahun 2011, pemerintah mengumumkan tingkat kemiskinan di Indonesia menurun. Jumlah orang miskin mencapai 30,02 juta atau sekitar 12,49 persen dari total penduduk Indonesia 240,35 juta jiwa. Jumlah ini sedikit menurun dibandingkan tahun 2010 dimana jumlah orang miskin 13,33 persen dan 14,15 persen di tahun 2009. Namun jika melihat tren sepuluh tahun terakhir, penurunan jumlah orang miskin menurut versi pemerintah hanya sebesar 8 juta orang, atau rata-rata orang yang keluar dari garis kemiskinan kurang dari 1 juta setiap tahunnya.

Padahal alokasi anggaran untuk pengentasan kemiskinan di APBN sangat besar dan selalu naik dari tahun ke tahun. Tahun 2009, anggaran pengentasan kemiskinan sebesar Rp 70 triliun. Bertambah menjadi Rp 80 triliun (2010) dan Rp 86,1 triliun (2011).  Artinya, total dana kemiskinan sebenarnya mencapai Rp 200 triliun lebih. Jika dana tersebut dibagikan kepada 31,02 juta orang miskin (berdasarkan data BPS). Maka satu orang miskin mendapat bagian sekitar Rp 7 juta /orang.

Berbeda jika menggunakan standar Bank Dunia dimana orang miskin adalah yang berpendapatan kurang dari USD 2 sehari, maka jumlah orang miskin Indonesia tiga kali lipat lebih besar dari versi pemerintah. Bank Dunia menyebut angka kemiskinan di Indonesia tahun 2011 mencapai 42 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Jika angka pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 1,49 persen, maka jumlah orang miskin Indonesia tahun 2012 diprediksikan mencapai 29,88 juta (versi pemerintah) atau 102, 45 juta (versi Bank Dunia).

Di sisi lain, di penghujung tahun ini sebuah majalah ekonomi internasional merilis 40 orang terkaya Indonesia. Yang mengejutkan, total kekayaan 40 orang tersebut mencapai 10,3 persen dari PDB Indonesia, setara dengan Rp 710 triliun atau setengah dari APBN 2011. Fakta ini sangat menyedihkan, karena secara vulgar menampakkan jurang kesenjangan yang sangat lebar antara kelompok si kaya dan jumlah masyarakat miskin di Indonesia. Bahwa kekayaan dan perputaran uang di bangsa ini sebagian besar hanya dikuasai sekelompok orang tertentu saja.

Tidak kalah pentingnya adalah jumlah angkatan kerja di Indonesia yang masih didominasi sektor informal. Sampai tahun 2011, struktur kesempatan kerja masih didominasi sektor informal sebesar 65 persen. Sementara sektor formal hanya 35 persen. Meskipun tingkat pengangguran terbuka terus menurun, namun keadaan ini justru sangat mengkhawatirkan. Karena jumlah angkatan kerja di sektor informal dipenuhi ketidakpastian, sewaktu-waktu dapat menjadi orang miskin baru ketika terjadi krisis dan kemerosotan ekonomi.

Paradoks-paradoks pembangunan ini menunjukkan ada yang tidak sesuai dalam tata kelola pembangunan di Indonesia. Pola penanganan kemiskinan dengan cara yang hampir sama  dalam dua tahun terakhir yang dilakukan oleh pemerintah dinilai semakin tidak efektif. Perlu ada terobosan baru penanganan kemiskinan yang fundamental untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia, yakni pola penanganan yang terpadu (integrated) dan lintas sektoral, serta memberikan keutamaan dalam pembangunan ekonomi mikro dan pedesaan. Karena sebagian besar masyarakat miskin berada di pedesaan, daerah tertinggal dan pelosok, bukan perkotaan

Perbaikan usaha pengentasan kemiskinan hrus berangkat dari perubaan paradigma, terutama dalam kebijakan yang dibuat negara. Karena selama ini, paradigma pengentasan kemiskinan di Indonesia masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro ketimbang pemerataan. Kebijakan yang dibuat masih bersifat sentralisasi kebijakan, lebih besar karitatif daripada transformatif, bahkan memposisikan masyarakat sebagai objek dan bukan subjek mitra dalam pengentasan kemiskinan bersama. Semoga wajah kemakmuran bangsa ini menjadi lebih baik di tahun akan datang. []