Catatan Dai Ambassador Dompet Dhuafa: Anak TKI Tak Punya Hak Pendidikan di Malaysia

dai-ambassador-dompet-dhuafa-malaysia

KUALA LUMPUR, MALAYSIA — Ustaz Luqmanul Hakim Abubakar, Lc, MRI, salah satu Dai Ambassador Dompet Dhuafa 2023 yang ditugaskan ke Negeri Jiran, Malaysia kembali mengunjungi salah satu Sanggar Bimbingan (SB) di wilayah Kepong, Kuala Lumpur, Senin (3/4/2023). SB sendiri adalah tempat belajar anak-anak Indonesia yang lahir di Malaysia, namun tidak memiliki kewarganegaraan alias stateless. Status stateless tersebut disebabkan oleh orang tua mereka yang merupakan pekerja migran dari Indonesia yang tidak diperbolehkan untuk menikah dan memiliki keluarga di Malaysia.

Hadirnya SB, menjadi salah satu solusi bagi permasalahan genting yang kini tengah melanda anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Negeri Jiran. Masalah tersebut adalah anak-anak Indonesia sulit mendapatkan akses pendidikan. Anak-anak itu tidak diperbolehkan bersekolah di lembaga pendidikan resmi milik Pemerintah Malaysia karena status stateless-nya. Namun di sisi lain, mereka juga tidak memungkinkan untuk sekolah di Indonesia.

“Lebih 80 persen siswa di sini adalah anak-anak yang bermasalah kewarganegaraannya. Mereka tidak memiliki akses ke lembaga pendidikan resmi,” ucap Pak Akil, pengurus SB Kepong yang menyambut Ustaz Luqmanul Hakim.

Baca juga: Dapat Lampu Hijau KBRI, Dompet Dhuafa Inisiasi Pusat Belajar Mengaji Di Malaysia

dai-ambassador-dompet-dhuafa-malaysia
Momen saat Dai Ambassador Dompet Dhuafa mengunjungi SB Kepong di Kuala Lumpur, Malaysia.

Pada kesempatan itu, Ustaz Luqman diminta untuk mengisi ceramah jelang buka puasa bersama para siswa dan guru SB Kepong. Sanggar itu adalah salah satu dari dua SB yang bernaung di bawah Pengurus Cabang Istimewa Muhammadiyah Malaysia.

Hari itu merupakan kesempatan kedua bagi Ustaz Luqman mengunjungi SB Kepong. Baginya, selalu menyenangkan melihat anak-anak di tengah keterbatasan fasilitas dan kehidupan yang sederhana, namun mereka tetap semangat belajar, berhitung, menulis, mengeja kalimat. Bahkan, mereka juga tetap menjaga bahasa serta dialek Indonesianya.

Di SB Kepong, terdapat sekitar 60 siswa untuk jenjang pendidikan TK dan SD. Mereka menempati ruang-ruang sempit dua flat kecil di apartemen Pelangi Magma yang disulap menjadi ruang belajar. Ruangan itu terasa sempit, sebab satu ruangan digunakan untuk dua jenjang kelas sekaligus. Kelas satu digabung dengan kelas dua. Kelas tiga digabung dengan empat, dan seterusnya.

Baca juga: Urgensi Pendidikan bagi Anak-Anak TKI: Catatan Dai Ambassador Dompet Dhuafa di Malaysia

Tenaga pengajar SB Kepong adalah anak-anak muda energik. Beberapa di antaranya mahasiswa International Islamic University Malaysia dan sebagian lainnya mahasiswa PKL dari beberapa universitas di Indonesia. Selain itu, ada pula volunteer lain yang berasal dari kalangan ekspatriat. Mereka melibatkan diri dengan ghirah pengabdian yang tinggi. Tak ada kemewahan yang mereka dapatkan di sini. Semuanya bergerak karena panggilan nurani untuk menyelamatkan pendidikan anak-anak negeri.

dai-ambassador-dompet-dhuafa-malaysia
Momen saat Dai Ambassador Dompet Dhuafa mengunjungi SB Kepong di Kuala Lumpur, Malaysia.

Mengurus anak-anak pekerja migran ini bukan perkara mudah. Layaknya mengurus anak, butuh kesabaran ekstra. Apalagi sebagian besar anak-anak di sini tidak merasakan pendidikan yang cukup di rumah mereka. Entah karena kesibukan orang tua yang bekerja atau bahkan tidak memiliki ayah ibu, dan atau karena pernikahan yang sudah bermasalah sejak awal.

Sebagian dari siswa SB Kepong ditinggalkan begitu saja sejak kecil dan diasuh oleh tetangga atau rekan kerja orang tuanya. Saat pertama kali masuk ke sanggar, jangankan kemampuan dasar membaca, menulis atau berhitung, bahkan soal adab dan tata krama pun terkadang masih jauh dari harapan. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa motto sanggar bimbingan ini tertulis rapi di dinding ruang belajar utama, tampak mencolok sejak pertama kali orang memasukinya: “Beradab sebelum berilmu.”

Sanggar Bimbingan sendiri adalah salah satu program prioritas KBRI Malaysia sejak tiga tahun terakhir. Ada kurang lebih 35 sanggar yang terdaftar sebagai binaan KBRI. Meski informal dan tanpa seragam, siswa di sanggar diharapkan mendapatkan materi pembelajaran yang cukup, layaknya sekolah dengan kurikulum kejar paket belajar A dan B. Mereka bisa mendapatkan ijazah apabila lulus di akhir masa pembelajaran dan nama mereka tercatat dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia.

Baca juga: Catatan Dai Ambassador Dompet Dhuafa Kaledonia Baru: Semangat Ibadah Para WNI Tetap Menyala, Meski Sibuk Berdagang

Selain soal pendidikan dasar dan karakter, target KBRI melalui program ini adalah guna memudahkan pengurusan dokumen kewarganegaraan bagi anak-anak tersebut. KBRI akan membantu prosesnya, mulai dari mendata, memberikan dokumen kewarganegaraan, dan selanjutnya mereka diharapkan dapat kembali ke Tanah Air, melanjutkan pendidikannya di Indonesia.

Kisah anak-anak pekerja migran Indonesia di Malaysia ini adalah rangkaian problematika panjang lintas generasi. Situasi di Malaysia cukup rumit. Aturan ketenagakerjaan Malaysia melarang pekerja migran untuk menikah atau memiliki anak, tapi faktanya banyak pekerja migran menikah di Malaysia. Sebab, menikah adalah kebutuhan dasar manusia dan anak-anak lahir sebagai konsekuensinya. Diperlukan pikiran-pikiran besar dan hati-hati yang bersih untuk mengurai dan mencari jalan keluarnya. (Dompet Dhuafa/Ustaz Luqmanul Hakim/Ronna)