Catatan Guru SGI Dompet Dhuafa: Menjadi Guru, Menggenggam Indonesia

Oleh : Jayanti, peserta SGI angkatan IV. Bertugas di Bangka Belitung

Aku mengawali perjalananku menjadi seorang guru di akhir tahun 2009. Di sebuah Pre-school International, aku menghabiskan waktu-waktu pagiku bersama puluhan anak-anak usia pra-sekolah sebelum melanjutkan aktivitasku sebagai mahasiswi di Universitas Muhammadiyah Makassar. Hari-hariku terasa cukup padat ditambah dengan peranku sebagai aktivis himpunan serta relawan pengajar.

Bisa jadi, masa-masa itu terasa berat atau justru terasa indah. Menjadi sibuk, dikala prestasi akademik juga hal yang harus tetap diperjuangkan. Mencintai setiap peran yang kita pikul memanglah kunci agar kita dapat menikmati apapun pekerjaan kita. Tapi, ada keistimewaan yang luar biasa di balik peran itu. Yakni berdampingan dengan anak-anak. Menjadi guru, membuatmu dekat dengan anak-anak. Dekat dengan anak-anak berarti engkau tak pernah menua. Dekat dengan anak-anak, maka engkau punya penawar berbagai beban hidup.

Satu lagi, bahwa bekerja di sekolah-sekolah yang katanya bertaraf bla..bla.., tuntutannya cukup tinggi. Setiap guru harus menguasai seabrek kompetensi dan melakukan seabrek peran sebagai rangkaian dari tugas bernama guru. Lagi-lagi, itu bisa jadi memberatkan, tetapi dengan kita mencintai apa yang dilakukan, semuanya terasa indah. Dan tentu saja, karena ada anak-anak dalam pekerjaanku itu.

Pernah dan itu sering terjadi, pada suatu pagi, aku datang ke sekolah dengan membawa perasaan galau dari rumah. Ketika masuk ke kelas, ternyata seorang siswaku sudah lebih dulu datang. “Miss,” dia memanggilku dengan penuh semangat sambil berlari menengadahkan kedua tangannya ke arahku pertanda ingin dipeluk. Kalau satu saja anak yang memperlakukan kita seperti itu, kita sudah sangat senang. Bagaimana jika seluruh anak di kelas yang kita ajar bisa dibuat dekat dengan kita? Seketika itu, galau-ku hilang. Aku membalas pelukannya dengan senyum-senyum hangat yang sama sekali tak perlu dibuat-buat.

Menjadi guru apalagi guru bagi usia kanak-kanak memang punya nilai tambah. Kata orang, jika stress kemudian bertemu dengan anak didik yang lucu-lucu, maka stress itu bisa hilang. Aku setuju sepenuhnya dan banyak pula teman-teman guru yang pernah kudengar mengatakan hal serupa. Lantas, jika ada guru yang justru stress setiap kali pulang dari sekolah, maka ini perlu dipertanyakan.

Nilai plus kedua dari profesi guru adalah, kita belajar parenting bahkan sebelum mempunyai anak sendiri. Melalui profesi guru, kita belajar bersabar memahami dan mengatasi aneka ragam kelakuan anak-anak. Belajar melihat berbagai hasil didikan orang tua serta pengaruh lingkungan pada anak didik. Jika orang tua mendidik anak-anaknya dengan cara A, umumnya hasilnya A. Jika anak-anak tumbuh pada lingkungan B, maka ia terbiasa berperilaku B. Maka, menjadi guru lebih dari sekedar memperlihatkan pada kita gambaran hasil didikan, tetapi juga belajar untuk menjadi problem solver. Karena anaknya sering berkata kasar, maka guru harus men-treat seperti apa anak tersebut. Kelak, jika Allah sudah mempercayakan untuk punya anak, kita sudah punya ilmu yang lulus uji.

Masih ragu untuk menjadi guru?

Kalau niatnya untuk sekedar ladang mencari uang, feel-nya akan berbeda. Jadi, kembali lagi tergantung niat dan bagaimana kita dalam prosesnya. Guru yang mencintai profesinya, mencintai anak-anak didiknya dan mau meluangkan waktu dan tenaga untuk meng-upgrade ilmu dan kompetensinya, maka setiap kali pulang sekolah, dia tidak akan pernah menyesal kenapa dulu menjadi guru. Sebab setiap hari, dia bisa pulang dengan membawa senyum. Meskipun berangkat dengan wajah masam.