MANILA, FILIPINA — Tadarus dan belajar mengaji bersama warga muslim Filipina menjadi satu kegiatan dakwah rutin yang diadakan oleh Dai Ambassador Dompet Dhuafa penugasan Filipina. Namun pagi itu, momen tadarus dan belajar mengaji menjadi lebih spesial karena dibuka oleh pertanyaan yang cukup menggelitik dari seorang jemaah. Sama seperti yang pernah dilakukan oleh Bani Israil di zaman Nabi Musa as.
Seperti diketahui, dahulu di masa Nabi Musa, Bani Israil membelot keimanannya dengan menyembah patung anak sapi. Mereka kemudian mengajukan permintaan kepada Nabi Musa setelah diminta untuk bertaubat kepada Allah Swt. Mereka meminta agar bisa melihat Allah dengan mata kepalanya, layaknya mereka melihat patung anak sapi yang sengaja mereka sembah. Maka, cerita ini pun menjadi pertanyaan menarik di tengah negara yang mayoritas beragama Katolik.
Pertanyaan tersebut adalah mengapa Islam tidak menyerupakan Tuhannya dengan sesuatu yang bisa digambarkan atau disentuh, seperti agama Katolik yang membuat patung Bunda Maria atau patung Yesus yang mereka pajang di rumah-rumah, bahkan di restoran-restoran? Maka ada beberapa jawaban yang disampaikan oleh Dai Ambassador, yakni Ustaz Andi Triyawan.
Baca juga: Kisah Dai Ambassador 2024: Bukber Bersama Masyarakat Muslim Internasional di KBRI Manila
Pertama, hal ini berkenaan dengan sifat Allah Swt. Salah satu sifat Allah adalah “laisa kamislihi syaiun” yang berarti “tidak sama dengan makhluk-Nya”. Maka di saat wujud zat Allah Swt yang Maha Besar digambarkan atau dibuat patung sejenis dengan perkiraan pemahat patungnya, maka hal itu langsung bertentangan dengan sifat Allah tersebut. Jika pun berhasil membuat sesuatu yang seolah-olah dipermisalkan Tuhan, maka sangat dipastikan itu berbeda sama sekali.
Kedua, karena ini berkenaan dengan esensi ruang dan waktu. Kita mengetahui bahwa semua hal yang memasuki dimensi ruang dan waktu akan musnah dan sirna. Sehingga, saat seseorang mempermisalkan Allah dengan sesuatu, baik itu berbentuk patung dan sebagainya, berarti ia memasukkan esensi ketuhanan ke dalam ruang dan waktu. Padahal, Tuhan itu tidak terbatas ruang dan waktu.
Baca juga: Dai Ambassador Dompet Dhuafa Jadi Sosok Pelepas Dahaga Ilmu Agama bagi Anak-Anak di Malaysia
Bagaimana mungkin sesuatu yang tidak terbatas ruang dan waktu kemudian dimasukkan ke dalam ruang dan waktu yang serba terbatas? Lebih dari itu, sifat Allah yang kedua adalah Baqa’ yang artinya “kekal abadi”. Maka, apabila manusia bersikeras untuk mempermisalkan zat Allah ke dalam sebuah bentuk, maka hakikatnya menjadikan esensi ketuhanan tidak lagi kekal abadi, namun terbatas ruang dan waktu.
Sehingga, demikianlah dua hujjah yang dijelaskan untuk meneguhkan bahwasannya manusia bukan tidak bisa melihat Allah dengan mata kepala, namun esensi dari zat Allah yang menjadikan manusia tidak bisa mencapai hal tersebut. Saat Nabi Musa berdoa ingin melihat Allah Swt dengan mata kepala, maka gunung-gunung saat itu hancur seketika, dan Nabi Musa pingsan seketika melihat itu semua.
Andi Triyawan, Dai Ambassador Dompet Dhuafa 2024