JAKARTA—Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ABPB) boleh digunakan untuk wakaf. Hal tersebut mengemuka dalam “Lokakarya Kaidah-Kaidah Wakaf dan Pemanfaatan Dana APBD untuk Wakaf” yang diselenggarakan Dompet Dhuafa di Jakarta, Selasa (9/12).
“Tentu hal tersebut selama pewakaf mendapatkan persetujuan dalam hal ini DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Sebab, Pemerintah Daerah adalah pewakaf syakhsiyah hukmiyah (berbadan hukum) yang harus mendapat persetujuan DPRD, kalau di perusahaan ya RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham),” kata Dewan Syariah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Oni Sahroni yang menjadi salah satu narasumber lokakarya.
Oni menambahkan, hal tersebut dilakukan lantaran di antara syarat pewakaf adalah pemilik penuh harta yang diwakafkannya. Sedangkan, kedudukan Pemerintah Daerah adalah muwakkal ‘alaih (pihak yang diberi kuasa oleh masyarakat) untuk menggunakan dana tersebut.
“Utamanya adalah sumber dana APBD yang diperuntukan wakaf harus halal menurut syariah dan hukum positif,” tegasnya.
Apabila mayoritas dananya haram maka harus dilakukan tafriq shafqah (pemisahan) dengan cara mengeluarkan prosentase yang haram. Sebab, salah satu syarat wakaf adalah harus halal sumbernya.
Hal senada juga diungkap narasumber lain yakni Direktur Eksekutif Badan Wakaf Indonesia (BWI) Ahmad Djunaidi. Djunaidi menuturkan, siapapun nazir atau pengelola wakaf yang akan menerima dana wakaf harus memperhatikan betul terutama sumber dana tersebut.
“Ini harus hati-hati. Karena sudah ada Undang-Undangnya. Ada hukum positifnya. Contohnya tanah yang akan diwakafkan, apakah sudah bersertifikat atau belum. Tanah itu harus bersertifikat dulu sebelum diwakafkan,” ujar Djunaidi.
Djunadi mengatakan, kehatia-hatian tersebut dilakukan untuk kebaikan pewakaf atau wakif dan nazhir ke depannya. Dengan begitu, tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti persoalan pelanggaran hukum.
Ia pun menjelaskan Pasal 40 Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf. Dalam pasal tersebut termaktub harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Pemanfaatan dana APBD untuk wakaf sendiri dapat dikategorikan wakaf uang. MUI juga telah mengeluarkan fatwa tentang wakaf tunai bahwa wakaf uang (Waqf Al-Nuqud) merupakan wakaf dari sekelompok atau seseorang maupun badan hukum yang berbentuk wakaf tunai.
Wakaf uang dalam bentuknya, dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Pasalnya, uang di sini tidak lagi dijadikan alat tukar saja. Wakaf uang dipandang dapat memunculkan suatu hasil yang lebih banyak. Mazhab Hanafi membolehkan wakaf uang karena uang menjadi modal usaha, dapat bertahan lama dan banyak manfaatnya untuk kemaslahatan umat. (gie)