Dedikasi Tanpa Batas, Di Tengah Keterbatasan

 

 

Mengalami keterbatasan fisik sejak lahir, tak membuat pria asal Sumenep, Madura, ini merasa berkecil hati. Di tengah fisiknya yang terlahir kurang sempurna, ia mampu mendedikasikan diri, dengan mengabdi sebagai seorang guru, sejak tahun 1995, di sebuah sekolah Madarasah Ibtidayah Shibyan, di kawasan Batang-batang Laok, Sumenep, Madura.

Mengabdi sebagai seorang tenaga pengajar, memang sudah dilakoninya sejak lama. Ia mengaku, upah yang diterimanya pun tidaklah seberapa. Bahkan, hampir selama 5 tahun, ia tak pernah menerima sepeser pun dari jerih payahnya selama ini. Kenyataan yang dihadapinya tersebut diterimanya dengan penuh suka cita. Berharap penuh, kelak Tuhan akan menurunkan Rezeki-Nya kepada ia beserta keluarga.

“Tujuan saya tetap mengajar mah pertama ingin menyebarluaskan ilmu yang bermanfaat kepada anak-anak, menjadikan anak-anak di kawasan tempat tinggal saya ini menjadi orang sukses, dan pastinya berharap bisa jadi ladang pahala saya,” ujar Pak Udin, demikian sapaan akrabnya sehari-hari, dengan berlogat Khas Madura.

Bukan hal mudah bagi bapak beranak tiga ini, ketika memantapkan hati untuk terjun dalam dunia pendidikan. Atas keterbatasan fisik di bagian kedua tangan dan kaki yang dialaminya, sesekali ia pernah mendapat perlakukan yang kurang menyenangkan dari orang-orang terdekatnya. Meski demikian, ia tak pernah gentar dan ragu, untuk terus memberikan manfaat bagi banyak orang.

“Saya pernah mengalami cacian makian oleh orang sekitar. Tapi saya sudah pasrahkan saja sama Allah. Saya tetap lanjutkan mengajar, mendidik siswa-siswa saya di sekolah,” ucapnya.

Kegiatan belajar mengajarnya di sekolah, biasa dilakukan Pak Udin mulai pada pagi hingga menjelang siang. Selepas mengajar, untuk membantu perekonomian keluarga, bersama sang istri Marwiyah (38), ia bekerja serabutan  dengan membantu membungkus keripik di rumah salah satu tetangganya. 

Seperti tak pernah mengenal lelah, di sore hari ia manfaatkan waktu luangnya dengan membuat kerajinan anyaman gelang tangan. Rata-rata setiap harinya ia memproduksi sebanyak 50 gelang, dengan upah yang tentunya tak seberapa, kisaran Rp 2500 hingga Rp 5000.

Di sela-sela pekerjaan serabutan yang dilakoninya begitu padat, ia pun tak segan untuk menyempatkan diri, memberikan kegiatan les kepada anak-anak di sekitar tempat tinggalnya, tanpa memungut biaya. Materi pembelajaran dalam kegiatan les yang diberikan di antaranya, belajar membaca, praktek membaca Alqur’an, dan pelajaran berhitung.

“Paling anak-anak biasanya ada 10 sampe 15 orang yang ikut. Ya, senang aja masih bisa berbagi ilmu untuk anak-anak,” ujarnya tersenyum.

Semangat dan spirit atas dedikasi yang ditunjukkan Pak Udin dalam dunia pendidikan, tentu saja membuat Marwiyah, sang istri, turut bangga, dan terus mendukung usaha dan niatan baik yang dilakukan sang suami hingga kini. Dukungan yang diberikan sang istri ini tentu melalui doa-doa yang terus dipanjatkan setiap waktu.

“Alhamdulillah, selama 15 tahun saya menikah dengannya, Pak Udin itu orang yang sangat sabar, pengertian, dan kerja keras. Apalagi dengan kebaikan yang dilakukan selama ini. Insya Allah, saya akan menemani hingga akhir hayat,” ucapnya sumringah, khas dengan logat khas Madura.

Dengan demikian, pelajaran berharga nampaknya mampu kita petik dari sosok Hasanudin, seorang pahlawan pendidikan dari Sumenep Madura, yang terus berjuang, berdedikasi dalam dunia pendidikan. Keterbatasan fisiknya, tak menyurutkan derap langkahnya, melaju menyebarkan ilmu yang bermanfaat bagi anak-anak generasi penerus bangsa. Semoga, kisah hidup serta kegigihannya dapat menjadi inspirasi bagi kita semua, tergerak untuk tumbuh bersama memperjuangkan pendidikan yang lebih baik untuk bangsa ini. (uyang)