?Demi Berantas Kebodohan, Aku Pun Mengabdi?

Desa, tempatku mengabdi termasuk lingkup yang masih sempit. Bahkan jika ingin mencoba mengelilinginya dalam satu hari bisa 10 sampai 20 keliling. Hanya memiliki sekitar 700 warga di dalamnya. Selain cakupannya yang terbatas, Dedeta juga memiliki jarak yang cukup jauh dari pusat kecamatan apalagi kabupaten.

Untuk menuju kecamatan diperlukan biaya sekitar Rp. 100.000 menggunakan katinting (semacam perahu yang memiliki 2 sayap kiri dan kanan). Sedangkan untuk sampai kabupaten, membutuhkan waktu 9 jam menggunakan kapal kayu dengan biaya Rp. 100.000-150.000.

Akibat jarak yang jauh ini berimbas pada kualitas tatanan masyarakat yang ada.Mulai dari aspek keagamaan, budaya, perekonomian, sistem sosial kemasyarakatan terlebih yang berkaitan dengan pendidikan.

Kebiasaan mengadakan pesta berbalut minuman keras hingga semalam suntuk dan siangnya terkubur dalam tidur. Banyak bapak-bapak yang tak bekerja. Hanya mengandalkan panen kelapa, pala dan cengkeh yang hanya 4-6 bulan sekali. Tapi karena semua tersedia oleh alam jadi mereka merasa termanjakan oleh semua itu.

Hidup untuk makan bukan makan untuk hidup. Ungkapan tersebut tepat menggambarkan bagaimana kondisi masyarakat disana.

Seperti bulan Februari hingga Mei nanti, masyarakat disibukkan dengan pesta cengkeh.Tidak hanya orang tua tetapi juga anak-anak pelajar.Dengan harga cengkeh yang melangit, orang-orang tua seringkali menganjurkan anaknya pergi ke kebun mengumpulkan cengkeh daripada melaksanakan tanggungjawabnya sebagai pelajar.Ironi memang.Tapi inilah realita.

Di balik segala ironi itu ada banyak hal yang kerap membuatku terenyuh. Karena akan selalu ada pihak-pihak yang merasa perlu berubah. Baik dari masyarakat, pendidik maupun siswa.

“…Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka taka ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia” (QS. Ar-Ra’d: 11).

Perubahan memang tidak mudah layaknya membalikkan telapak tangan. Tidak instan seperti mie instan yang juga harus melalui beberapa proses untuk bisa menjadi hidangan lezat.

Seperti pada musim cengkeh sekarang ini. Banyak anak-anak yang bolos sekolah.Jangan salahkan siswa, karena seringkali guru pun demikian. Pergi ke kebun atau sibuk mengurusi cengkeh di rumah sedang anak didiknya terlantar.

Mendekati masa akhir tugasku aku lebih focus mengajar di kelas II. Sebelumnya dengan guru yang terbatas dan sering tak masuk, aku harus keliling dari satu kelas ke kelas lain bahkan hingga 6 kelas dalam satu hari. Tapi kini aku memilih focus, ya focus.

Karena ternyata dari sekitar 20 siswa kelas II hanya 3-5 orang yang sudah lancar membaca pun dengan kemampuan penjumlahan dan pengurangan dalam matematika. Selain masalah tersebut, jumlah kehadiran di kelas ini pun fluktuatif.Kadang banyak, sering juga jumlah siswa yang hadir 5-10 orang.

Para guru sering mengeluhkan kemampuan dan daya tangkap anak kelas II dalam belajar.“Memang, anak-anak disini tuh pahe-pahe (bandel-badel) bu. Jangan dimanjain nanti dorang tambah malas”, ujar salah seorang guru.

Ini juga menjadi salah satu alasan kenapa siswa sering malas pergi ke sekolah.Karena kurangnya mendapat perhatian dari guru yang dilihat hanya sisi negatif tanpa melihat kelebihan yang dimiliki.Yang lebih parah dari kurang perhatian adalah pukulan yang kerap mendarat ketika siswa tak bisa mengerjakan soal.

Pagi itu dengan mengenakan kostum biru aku bersiap mengajar di kelas II. Layaknya penjaga sekolah aku datang lebih awal sekitar kurang dari jam 7. Aku buka semua pintu kelas, menyapu kantor dan membuka jendela. Aku tengok jam sudah setengah delapan, tapi baru ada 4 orang siswa yang datang. Baru jam 8 lebih aku bisa laksanakan apel sebelum anak-anak melakukan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Belum ada guru yang datang.

Aku memberikan nasehat pada anak-anak, “…Kelas 5 langsung masuk, tertib ya karena belum ada guru. Kelas 6 setelah shalat dhuha, lanjut latihan soal ujian karena sebentar lagi try out. Kelas 1,2, 3 kalau belum ada guru tertib ya nak”.

 “Kasihaaan”, jeritku dalam hati.Andai aku bisa membagi diri menjadi banyak bagian mungkin tak akan ada lagi kelas kosong tanpa guru.Tapi aku juga tak bisa lagi berlari seperti pertama kali dulu karena kondisi kesehatanku pasca terserang malaria.

 Hari ini aku akan bekerja keras menanamkan konsep pembagian.

“Ayo sebelum belajar ikuti ibu.Siapa suka matematika tepuk tangan (prok, prok, prok).Siapa suka matematika bilang hore (Hore!).Siapa suka matematika, siapa suka matematika, siapa suka matematika injak bumi”, anak-anak mengikuti dengan ceria.

Aku mulai masuk ke tahap eksplorasi. “Anak-anak, kursi di kelas kita ada berapa baris ya?”, tanyaku sembari menunjuk deretan kursi yang mereka duduki.

Anak-anak mulai kurang kondusif. Aku memberi motivasi, “Ayo tulis dulu yang ada di papan, nanti torang main di luar kelas e?”

Selesai menulis anak-anak aku arahkan keluar kelas untuk mengambil cengkeh di rumah masing-masing sebanyak 30 biji sebagai media hitung.Karena lagi musim cengkeh, jadi mereka semangat luar biasa.Tapi yang namanya anak-anak, ketika aku menganjurkan 30 biji mereka membawa lebih dari itu.

Aku terenyuh dengan semangat belajar dan keceriaan mereka. Semoga kelak generasi ia bisa merubah keadaan desa ini menjadi lebih bermartabat. (Oleh Siti Patimah, Relawan Guru SGI Dompet Dhuafa)

 

 

Editor: Uyang