?Dunia Kerelawanan Mengasah Rasa Empatiku?

Lely Nawati Siregar, Relawan Dompet Dhuafa

Erupsi Gunung Sinabung pada 2013 lalu merupakan pintu masuk bagiku memasuki dunia kerelawanan. Aku yang saat itu baru satu tahun kuliah ditawari untuk ikut serta dalam penggalangan dana yang diadakan oleh Dompet Dhuafa. Kemudian, pihak Dompet Dhuafa pun menawari untuk ikut bergabung menjadi relawan lembaga pengumpul zakat terkemuka di Indonesia tersebut.

Perkenalkan, namaku Lely Nawati Siregar. Orang-orang biasa memanggilku dengan Bureg. Saat ini aku terdaftar sebagai mahasiswi di Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, Fakultas Dakwah, Jurusan Sosial, bagian Pengembangan Masyarakat Islam, semester IV. Aku lahir dua puluh tahun lalu di Tapanuli Selatan. Saat ini aku tinggal di Medan untuk melanjutkan studiku di perguruan tinggi.

Melanjutkan cerita sebelumnya, aku tak lantas turut bergabung begitu saja untuk menjadi relawan di Dompet Dhuafa. Aku harus mengikuti tahapan wawancara dan pelatihan. Dalam pelatihan tersebut, aku mendapatkan banyak pengetahuan baru. Di sana, aku diajari cara penanganan P3K, praktik kebersihan, pencegahan banjir, bagaimana cara mengondisikan diri dengan korban, dan masih banyak lagi. Pelatihan yang berlangsung selama dua hari itu terasa begitu singkat.

Aku turun langsung ke lapangan pertama kali saat gunung tertinggi di Sumatera Utara, Sinabung meletus pada September 2013 silam. Aku berada di lokasi pengungsian  selama dua minggu.

Sebenarnya, aku tidak mendapatkan ijin dari orang tua pergi ke tempat tersebut. Orang tua tidak ingin anak bungsunya ini mengalami kejadian yang tidak diinginkan. Namun, saat itu aku nekat saja. Beberapa kali orang tua menelepon tapi tidak pernah aku jawab. Baru setelah masa tugas selesai dan kembali ke Medan, aku memberanikan diri untuk menelepon orang tua. Aku ceritakan alasan keikutsertaanku. Aku juga menceritakan bagaimana kondisi pengungsi di sana. Orang tuaku luluh dan membolehkan aku untuk ikut dalam kegiatan kerelawanan lainnya.

Pembaca tentu tahu tentang etnis Rohingya yang melarikan diri dari negara asalnya karena soal agama yang dianut. Mereka berasal dari dua negara yaitu Myanmar dan  Bangladesh.Saat ini kondisi mereka memprihatinkan. Sebagian dari mereka ada yang terdampar di Langsa, kota pesisir di provinsi Aceh, 400 km dari Ibu Kota Banda Aceh.

Di sini ada 700-an pengungsi Rohingnya. Interaksi dengan mereka begitu sulit karena Bahasa Inggris tidak dikuasai. Mereka hanya bisa bahasa dari negara masing-masing yaitu Urdu dan Hindi. Oleh karena itu aku bersama kawan sesama relawan lain mengajari Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa nasional Urdu dan Hindi.

Dari pengalaman selama menjadi relawan, sehabis lulus kuliah, aku bercita-cita untuk menjadi konsultan masyarakat. Aku ingin menjadi solusi dari masalah masyarakat. Selain itu, aku juga bercita-cita menjadi pengusaha untuk membantu keluarga.

Ada banyak perubahan selama menjadi relawan di Dompet Dhuafa. Pengalaman selama menjadi relawan mengubahku menjadi dewasa, mendapat banyak ilmu, belajar sopan santun, belajar berbicara di depan banyak orang, dan mengasah rasa empati. (Erni)

Editor: Uyang