Filantropreneur, Bukan Hanya Sekedar Memberi

SIARAN PERS, JAKARTA – Indonesia bersama beberapa negara lain baru saja dilepaskan dari kategori negara berkembang, dan dianggap sebagai negara maju oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR). Terlepas dari kontroversi yang ada, ada hal positif yang bisa diambil. Dalam hal ekonomi, Indonesia lebih dianggap mampu untuk bersaing di ranah global. Ekonomi Indonesia memang sedang dalam keadaan yang bergeliat. Namun sayang, ramainya ekonomi tidak dirasakan oleh beberapa masyarakat, terkhusus di pedesaan. Tingkat kemiskinan di Indonesia masih didominasi oleh masyarakat marginal, baik yang ada di daerah, atau di pesisir.

Dompet Dhuafa yang telah lama berkecimpung dalam bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat marginal, mencoba terus merumuskan solusi terbaik untuk membantu mengentaskan kemiskinan di daerah. FIlantropreneur, konsep pemberdayaan ekonomi berbasis filantropi salah satunya. Mensinergikan filantropi, dalam upaya pengentasan kemiskinan adalah ide dasar dalam gerakan ini. Semakin lama, persoalan kemiskinan pun semakin komplek. Filantropreneur lahir dari permasalahan kemiskinan yang progesif tersebut. Mau tidak mau, inovasi dalam pengentasan kemiskinan juga berubah, untuk menjamin pemberdayaan yang lebih sustainable.

“Pembahasan mengenai filantropreneur adalah suatu gagasan yang diinisiasi oleh Dompet Dhuafa, bahwa hari ini mengelola kemiskinan tidak hanya cukup dengan hanya memberikan bantuan secara langsung dengan jangka yang pendek, melainkan harus dilakukan pengembangan format bantuan yang bisa berdampak jangka Panjang,” terang Direktur Progam Dompet Dhuafa, Bambang Suherman, ketika ditemui di kantor Dompet Dhuafa, Jatipadang, Jakarta Selatan.

FIlantropi bukan lagi sekedar memberi, namun ikut menjabat tangan mereka yang sulit berdiri. Kurang lebih, begitulah tujuan filantropreneur. Dalam implementasinya, filantropreneur bergerak dalam dua pedekatan yang tidak bisa dipisahkan. Pendekatan ialah filantropi, dimana ini menjadi basis nilai gerakan tersebut. Tujuannya ialah untuk membukakan akses bagi si miskin untuk bergerak lebih leluasa dalam mengaktualisasi diri. Dengan begitu ia bisa lebih siap untuk menggempur kemiskinanya sendiri.

“Pertama, filantropi, yaitu untuk membuka akses terhadap layanan pendidikan, akses kesehatan, dan akses ketrampilan. Diharapakan penerima manfaat tumbuh pengetahuan dan kapasitasnya, serta kemampuan untuk berproduksi,” tambah Bambang.

Lebih lanjut, ketika akses sudah didapat, dan penerima manfaat mendapatkan ketrampilan dan pengembangan kapasitas, selanjutnya ialah masuk dalam pendekatan entrepreneur. Penerima manfaat masuk lebih dalam untuk lebih berdaya, selangkah menjauh dari kemiskinan. Selanjutnya ialah bagaimana mereka bisa mengembangkan kemampuan tersebut untuk dijadikan alat produksi. Penerima manfaat didampingi untuk berdaya dari hulu ke hilir. Mulai dari optimalisasi kemampuan hingga terjun langsung meraba pasar yang lebih sering tak terjangkau oleh produsen.

“Pendeketan entrepreneur, dilakukan dengan mengembangkan kemampuan pemberdyaaan masyarakat melalaui penguatan modal, peningkatan mutu SDM dan produk, juga pengembangan jaringan pasar baik secara analog ataupun digital,” tukas Bambang.

Wujud akhir dari proses metamorfosa filantropreneur adalah penerima manfaat yang telah mentas dari kemiskinan dan ikut serta dalam pengentasan kemiskinan sekitar. Mustahik yang awalnya minim akses, kini bisa membukakan akses terhadap orang lain. Filantropreneur mencoba mengubah lingkaran kemiskinan menjadi lingkaran kebaikan.

“Filantropreneur berkonsentrasi megelola mustahik menjadi muzaki,” Tutup Bambang.