Gaza kembali menarik perhatian dunia. Gempuran artileri tentara Israel telah melumpuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Gaza. Sekolah, masjid, perkantoran, bahkan fasilitas kesehatan yang dilindungi oleh hukum humaniter internasional hancur diterjang roket dan peluru.
Tentu saja, serangan membabi buta tentara Israel telah membuat kehidupan masyarakat Gaza yang berjumlah sekira 1,5 hingga 1,7 juta jiwa menderita. Jangankan saat krisis karena peperangan, dalam kondisi normal saja, perkonomian Gaza dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Kebijakan blokade yang dilakukan Israel untuk membatasi gerak barang dan orang telah membuat warga Gaza terpuruk. Mereka sulit memperoleh akses atas air untuk mengairi lahan pertanian mereka, dan lebih dari itu, mereka juga kesulitan mendapatkan bahan makanan untuk kebutuhan sehari-hari.
Kebutuhan pangan bagi masyarakat yang mendiami wilayah seluas 360 kilometer persegi ini telah lama dipantau dan diteliti dunia melalui Food and Agriculture Organization (FAO). Bahkan FAO pernah melansir, krisis perang di Gaza mengakibatkan perubahan pola makan dan gizi di sana. Kerap kali warga Gaza hanya makan roti dan the saja, tanpa asupan gizi yang cukup.
Selama ini, isu pangan memang sangat penting di Gaza, melengkapi isu politik, isu militer. Isolasi Israel telah membuat masyarakat Gaza sangat tergantung pasokan makanan dan bantuan dari luar. Selama ini, organisasi bantuan di berbagai dunia pun masih fokus terhadap solusi jangka pendek dan sementara ketimbang mengatasi problem utama. Mereka menyupai makanan hanya saat-saat krisis perang seperti sekarang ini. Sehingga bantuan tersebut tidak bisa bertahan lama dan berkelanjutan. Warga Gaza pun akan selamanya bergantung dan mengandalkan bantuan luar.
Atas latar belakang itu, Dompet Dhuafa mengambil konsentrasi program pangan untuk mendukung daya tahan (resilience) masyarakat Gaza. Program itu kami namakan Gaza Food Bank. Program ini merupakan pengembangan dari program revitalisasi pabrik roti di Jabaliyah dan lahan pertanian (kentang dan sayuran) di sana. Juga kelanjutan dari program air yang dapat mengairi 210 hektar lahan pertanian di Khan Younis.
Secara sederhana, Gaza Food Bank adalah lembaga yang fokus dalam upaya ketahanan pangan di Gaza. Mereka harus mampu menyediakan logistik makanan untuk kebutuhan masyarakat Gaza mulai dari hulu hingga hilir, mulai dari suplai, penyimpanan hingga distribusi. Tidak hanya itu, lembaga ini juga harus mampu mengelola dan mengoptimalkan lahan pertanian di Gaza untuk kebutuhan masyarakat. Dengan demikian kita berharap, dalam kondisi normal maupun krisis warga Gaza tetap bisa mengakses makanan.
Lembaga ini sebenarnya kita adopsi dari kearifan lokal di negeri ini, yaitu lumbung pangan yang ada di daerah-daerah. Praktek lumbung ini pun sebenarnya sudah dipraktekan pada masa Nabi Yusuf ketika menjadi bendahara Mesir berabad silam. Kepiawaian Nabi Yusuf dalam mengelola pangan membuat mereka mampu survive manakala paceklik melanda negeri itu.
Bantuan dari masyarakat Indonesia akan sangat bermanfaat bagi kemanusiaan di Gaza. Mungkin bantuan dari masyarakat Indonesia tak akan cukup jika hanya dipakai untuk membeli makanan yang langsung dibagikan, tapi andil Indonesia dalam mengembangkan ketahanan pangan di Gaza akan membantu mereka dalam mengatasi masalah pangan dan kebutuhan konsumsi warga Gaza setelah blokade dan perang yang berkepanjangan. Wallahu a’lam.