Guru Mengubah Diri, Mengubah Bangsa

PADANG — Menjadi guru pilihan terbaik hidupku. Sebagaimana pentingnya pendidikan mencerdaskan bangsa. Aku adalah hasil dari proses pendidikan. Sekian lama menjadi murid, hingga kini aku berdiri sebagai seorang guru.

Lahir sebagai bungsu dari lima bersaudara. Amsar Baharuddin dan Roslaili adalah orang tua yang membesarkanku. Dari lahir hingga tamat SMA dibimbing penuh olehnya. Setamat SMA aku mencoba mandiri, dengan kuliah D2 di Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Hijrah dari Batusangkar untuk menuntut ilmu di Ibu Kota Negara adalah pengalaman luar biasa bagiku. Kultur hidup di kampung dengan kota metropolitan sangat berbeda. Walaupun tak terlalu lama, hingga kemudian aku melanjutkan ke Universitas Terbuka (UT). 

Pendidikan adalah bekal paling utama seorang manusia. Bagiku dan semua orang, pendidikan sangat penting. Long life education, begitu kata orang. “Karena ilmu yang akan menjagamu,” kata Imam Ali. Orang akan tetap pandai selama dia terus belajar. Bila dia berhenti belajar karena merasa pandai, di situlah awal kebodohan.

Pendidikan merupakan proses kehidupan dalam mengembangkan diri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Pendidikan adalah wadah dalam melangsungkan kehidupan. Kata Tony Blair, modal utama membangun bangsa adalah pendidikan. Kedua Pendidikan. Ketiga juga pendidikan. Guru adalah kunci sukses dari pendidikan selain orang tua. Guru tak hanya sebagai profesi, tapi sebagai pendidik generasi. Guru dituntut memiliki kemampuan lebih tentang ilmu pengetahuan.

Guru adalah seorang pahlawan. Kepahlawanannya terukir pada keberhasilan muridnya hingga menjadi orang besar dan berguna. Negara tumbuh besar karena sentuhan tangan sang pendidik. Sebuah negara menjadi maju dan sejahtera karena guru. Walaupun kadang guru tidak sejahtera. Ia senantiasa terus mengajar. Bahkan kehebatan negara tergantung kesuksesan guru yang mengajar.

Dulu aku tak bercita-cita menjadi guru. Namun kesadaran itu datang. Barangkali inilah takdir hidupku. Ya menjadi guru. Walaupun aku sadar menjadi guru juga tak menjamin kesejahteraan secara materi. Di bangsa kita, gaji guru tak sebanding negara tetangga. Apalagi guru honor sepertiku. Selorohnya kami guru honor, gaji minim, untuk beli sabun cuci saja tak cukup.

Guru tanpa tanda jasa, barangkali pepatah lama. Jika sudah guru PNS, baru meningkat gajinya, apalagi kalau sudah sertifikasi. Sehingga jika sudah diangkat PNS alangkah riang gembiranya. Tapi sekali lagi itu bukan tujuan utama. 

Awal menjadi guru, pengalaman buruk pernah menimpaku. Jadi guru honorer, aku tak dianggap. Bahkan diremehkan. Aku sempat minder. Jika ada kegiatan seperti kepramukaan, lomba antar sekolah, seminar dan lainnya pasti yang diutus adalah guru PNS. Jika ada rapat, pendapatku seolah tak ada yang mendengarkan. Walaupun ideku bagus, tapi selalu tak dianggap. Selalu guru senior yang ditanya, jika saya tak setuju mereka anggap sepakat saja.

Pernah aku merasa putus asa. Bahkan sampai titik terendah, menyalahkan diri sendiri. Juga memaki-makinya. Aku menangis dan ingin berhenti mengajar. Namun, sosok ibu membantu menguatkan. Ada kata-katanya yang membuat saya kembali bangkit. 

“Allah tidak akan menguji umatnya di luar batas kemampuannya, mungkin saat ini kamu tidak dibutuhkan dan tidak dihargai nak. Jadi kamu lebih bisa belajar menjadi orang yang bisa menghargai orang lain. Tidak ada yang tidak mungkin. Bagi Allah, jika tidak sekarang mungkin saja nanti, asalkan kamu terus berusaha dan berdo’a,” begitu pesan ibuku.

Akhirnya aku belajar mengubah pola pikir. Aku merasa jika diperlakukan tidak baik, itu karena saya kurang menghargai diri sendiri. Aku mulai menggali potensi yang ada pada diri. Setiap rapat atau musyawarah di sekolah, aku mencoba mengeluarkan pendapat. Lama-lama pendapatku didengar dan diterima. Aku menjadi percaya diri. Sekarang aku dihargai dan disayangi sesama guru, meskipun masih berstatus pegawai honorer.

Dulu aku hanya mengajar seadanya saja, berasa kurang semangat. Sekedar menjalankan tugas sebagai guru. Namun, kini aku menyadari bagaimana pentingnya mengajar murid dengan hati. Menyayangi mereka, melakukan berbagai pendekatan. Belajar sambil bermain dan bernyanyi. Melihat wajah aku bersemangat yang tergambar dari kebahagian di wajah muridku.

Keberadaanku kini pun diakui, diikutkan berbagai kegiatan seperti seminar, pramuka, lomba dan pelatihan. Kini aku juga mewakili sekolah ikut sebuah training dalam jangka waktu lama di program School of Master Teacher (SMT) yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa Singgalang. Aku bangga, karena lolos setelah melewati seleksi.

Aku akan terus belajar menjadi pendidik yang baik. Bukan hanya sebagai pengajar biasa. Sekarang aku benar-benar mencintai profesi ini. Memberikan ilmu kepada anak didik yang mulanya tak tahu apa-apa. Hingga kemudian ia bisa adalah sumber semangatku untuk selalu bahagia.

Hidup itu tidak pernah berjalan datar. Hidup selalu berputar seperti roda. Ada kalanya kita berada di bawah dan ada kalanya di atas. Sekarang tugas kita adalah membuat roda itu berputar melewati tanjakan.

Dengan begitu kita akan tetap memungkinkan mendapatkan hidup di atas dan semakin keatas. Dan ketika kita jatuh, jangan tetap di bawah. Jatuh bukan berarti kalah, itu berarti kamu harus bangkit dan kembali mencoba. Kuncinya adalah perbaikan diri. Jika guru terus memperbaiki diri, maka ia sedang memperbaiki bangsanya. (Dompet Dhuafa Singgalang/ Rice Febriani, Peserta School of Master Teacher)