Perjuangan Seorang Ibu, Hastari Besarkan Dua Anak ‘Spesial’nya (Bagian Dua)

YOGYAKARTA – Yayan Hediana, ayah Icha bekerja sebagai buruh dekorasi pernikahan. Tidak banyak yang bisa Yayan hasilkan dari pekerjaan itu, terkadang habis untuk membelikan popok untuk anak pertamanya. Kakak Icha yang pertama, sudah berumur 20 tahun, memang membutuhkan banyak popok. Ia tidak bisa berjalan seperti orang normal. Sama seperti Icha, kakaknya juga tidak bisa berkomunikasi dengan lancar, oleh karena itu ia tidak bisa melakukan beberapa hal dengan semestinya.

“Suami itu buruh dekorasi pernikahan, kalau lagi ramai, alhamdulillah ada rejeki. Tapi kalau tidak ada yang hajatan ya tidak dipanggil,” jelas Hastari, menjelaskan kondisi keluarganya.

Siang itu, tujuan Hastari dan Yayan datang ke kantor Dompet Dhuafa Yogyakarta, ialah mengambil jatah bantuan berupa popok dewasa untuk anaknya yang pertama. Selain bantuan beasiswa pendidikan untuk Icha, Hastari dan keluarga juga mendapatkan layanan kesehatan dari Dompet Dhuafa. Kondisi dua dari tiga anak Hastrai yang berkebutuhan khusus juga menuntut untuk mendapatkan penanganan kesehatan khusus. Yayan hanya buruh kasar dan Hastari hanya ibu rumah tangga pun kesulitan, untuk menngakomodasi kebutuhan kedua anak ‘spesial’nya.

“Kalau ada salah satu anak saya yang sakit, suami pun turun tangan ikut njagain. Jika sudah seperti itu, ya gak ada pemasukan,” tambah Hastari, sambil matanya tidak lepas mengawasi gerak-gerik Icha yang asik bermain dengan amil Dompet Dhuafa Yogyakarta.

Memang begitulah effort lebih yang harus Hastari keluarkan untuk merawat Icha. Nyaris tak pernah lepas gerak-gerik Icha dari pandangan seorang Hastari. Bila saja terlalu lama Hastari melepaskan pandangan, terkadang ada benda yang pecah atau rusak karena ulah anaknya. Hal itulah yang terkadang membuat Hastari kuwalahan mendapatkan keluhan dari tetangga atau orang-orang di sekitar Icha.

“Di sekolah saya harus tunggu, terkadang guru sekalipun nggak sanggup menghadapi Icha sendiri. Saya khawatir saja dengan Icha, tidak semua orang bisa memahami perilakunya,” jelasnya.

Walau memiliki dua anak dengan kebutuhan khusus, Hastari percaya bahwa anaknya spesial dan memilki bakat tertentu. Walau Icha kesulitan dalam berhitung, menulis ataupun bicara. Namun ia pandai dalam hal kesenian seperti menggambar, mewarnai, menari dan sebagainya. Hal tersebutlah yang membuat Hastari menemukan sisi spesial pada anaknya.

“Kalau Icha dengar lagu dimanapun itu, pasti ia menari seketika itu,” ingat Hastari, sambil tersenyum.

Tidak banyak yang Hastari harapakan untuk anaknya. Mendengar kata harapan sendiri sudah membuat dada Hastari sesak. Kekhawatiran akan masa depan kedua anak spesialnya, tidak bisa Hastari pendam sendiri. Hanya kemandirian, begitu yang Hastari harapkan dari Icha. Waktu dimana Icha bisa mengurus dirinya sendiri, berprilaku baik tanpa harus dalam pengawasannya. Hanya itu yang ingin Hastari inginkan sebelum nantinya ia sudah tak sanggup merawat icha.

“Jika bayangin harapan kedepan itu, dada saya sesak, berat gitu. Umur tidak ada yang tahu mas, saya takut kalau saya tidak ada, siapa yang bisa merawat Icha. Saya tidak berani berharap banyak, hanya kemandirian saja,” aku Hastrai tidak muluk-muluk.

Adzan Dzuhur berkumandang, Hastari pun pamit undur diri dari kantor Dompet Dhuafa Yogyakarta. Selalu ada senyum bahagia akunya setiap bertandang ke kantor tersebut. Sapa hangat para amil dan keceriaan Icha menemui orang-orang yang ia sukai menularkan kebahagiaan pula bagi Hastari.

“Salim dulu Icha sama kakak-kakaknya, sambil bilang apa?,” ajak Hastari kepada Icha.

“Terima kasih…,” jawab Icha sembari bersalaman dengan para amil Dompet Dhuafa Yogyakarta. Walau butuh beberapa kali percobaan agar Icha bisa melafalkan kata ‘terima kasih’ dengan benar. Ketika itu, gelak tawa bahagia pecah bersama-sama. (Dompet Dhuafa/Zul)