Hutang Puasa Ramadhan: Apa Hukumnya, Siapa Saja, dan Kapan Waktunya?

SIARAN PERS, JAKARTA — Mengenai hutang puasa Ramadhan, dalam al-Qur’an telah dicantumkan pada surat al-Baqarah ayat 184, yang terjemahannya berbunyi:

“Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya mengganti puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang-orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Namun barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”

Dari ayat di atas, ada beberapa golongan yang mendapat keringanan atau diharuskan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Kemudian ia harus qodlo’ (mengganti) puasanya setelah lepas dari udzur di luar Ramadhan, yaitu:

Pertama, orang sakit tidak memungkinkan untuk puasa. Termasuk dalam golongan ini juga wanita hamil dan menyusui apabila berat untuk puasa atau mendapat anjuran dari dokter untuk tidak berpuasa. Karena dikhawatirkan mengganggu keberlangsungan ibu maupun si bayi. Kedua, seorang musafir ketika bersafar (bepergian jauh) sehingga sulit untuk berpuasa. Ketiga, wanita yang sedang haid maupun nifas. Tidak termasuk dalam ayat di atas, namun golongan ini berdasarkan pada hadis dari ‘Aisyah, yaitu:

“Kami dulu mengalami haid. Kami diperintahkan untuk meng-qodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk meng-qodlo’ shalat.”

Kemudian bagaimana dengan orang yang sengaja tidak berpuasa. Mayoritas ulama berpendapat, siapa saja yang sengaja membatalkan puasa baik disebabkan adanya udzur maupun tidak, maka wajib baginya untuk qodlo’.

Berbeda dengan Ibnu Hazm dan ulama mutakhir seperti Syaikh Muhammad bin  Sholih al-Utsaimin. Mereka berpendapat, orang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur, tidak wajib baginya qodlo’ puasa. 

Ustadz Pranggono menerangkan, pendapat yang kuat adalah wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunah. 

Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu ia harus bertaubat dengan nasuha (sungguh-sungguh), menyesali dosa yang telah ia lakukan, kembali melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan.

Sedangkan waktu qodlo’ puasa Ramadhan, tidak ada dalil atau hukum yang menyebutkannya. Artinya boleh dilaksanakan kapan saja, tidak harus dilaksanakan setelah Ramadhan (bulan Syawal). Boleh dilakukan di semua bulan hijriyah, asalkan belum masuk Ramadhan berikutnya. 

Ustadz Pranggono menjelaskan, ‘Aisyah juga pernah menunda qodlo’ puasanya hingga bulan Sya’ban, karena beliau sibuk mengurus Nabi, sehingga hanya bisa dilaksanakan di bulan Sya’ban.

Akan tetapi, alangkah baiknya qodlo’ puasa Ramadhan dilakukan dengan segera. “Tentunya kita semua tahu bahwa menyegerakan hal yang baik itu adalah lebih baik”, tutur Ustadz Pranggono. 

Beliau kemudian mengutip sebuah penggalan surat al-Mu’minun ayat 61.

“Mereka bersegera dalam (melakukan) kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”. (Dompet Dhuafa/Muthohar)