Alhamdulillah ‘alaa kulli haal wan ni’mah sebuah kenikmatan bagi seorang hamba tatkala mampu memberikan kebahagiaan dan senyuman bagi sesama makhluk Tuhan, pujian dan takbirpun senantiasa kami lantunkan sepanjang perjalanan dari Singapura menuju Kamboja, bahkan saat ustaz Yusuf mitra Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa di Kamboja mengantarkan kami ke Propinsi Takeo salah satu wilayah di barat Kamboja.
Perjalanan tiga jam dari Phnom Phen International Air Port menuju Takeo kami lalui dalam kesunyian malam, “Kamboja sangat berbeza ustaz dengan Jakarta, tak ade keramaian di malam hari, perjalanan malam antar bandar (kota-red) atau province senyap” ujar ustaz Yusuf dengan bahasa melayunya. Maklum ustaz Yusuf pernah menetap dan sekolah di Malaysia.
Sesuai data yang diterima, Warga Muslim Kamboja sebagian besar berada di Kampong Cham, satu diantara propinsi di Kamboja yang dihuni oleh mayoritas suku cham berbahasa Cham. Bahasa Cham adalah bahasa dari orang Cham di Asia Tenggara , bahasa ini sebelumnya adalah bahasa dari Kerajaan Champa di Vietnam Tengah, Bahasa ini masuk dalam Rumpun bahasa Melayu-Polinesia dalam keluarga bahasa Austronesia, Bahasa Cham diucapkan oleh 100.000 orang di Vietnam dan sampai 220.000 orang di Kamboja. bahasa Cham terkait dengan bahasa Indonesia, Malaysia, Madagaskar , dan Filipina.
Tahun ini, tim Tebar hewan kurban (THK) Dompet Dhuafa selain mendistribusikan hewan kurban di 90 titik atau wilayah di Indonesia, juga dilakukan dibeberpa Negara dengan penduduk minoritas muslim, diantaranya Kamboja, Philipina, dan Myanmar. “untuk Kamboja, saran saya kita distribusikan ke wilayah selatan Kamboja ustaz” Ujar Ustaz Yusuf kepada kami, memang bukan tanpa alasan tim THK Dompet Dhuafa menyapa dan meyambangi wilayah selatan Kamboja, selain karena wilayah selatan terdapat beberapa distrik yang dihuni warga minoritas muslim dan muallaf, jua disebabkan masih banyak donator atau organisasi dunia yang hanya fokus membantu masyarakat muslim di Kampog Cham.
Berada di kamboja, serasa kami tinggal di kampung sendiri, selain cuaca dan geografis yang sama seperti di Indonesia, juga tradisi dan suasana saat perayan hari raya dan hari besar islam lainnya. Hal ini terlihat saat sholat Idul Adha di Masjid Badih Husin Takeo, sejak pukul 06.30 masyarakat muslim baik muda maupun tua berbondong-bondong menuju masjid untuk sholat Idul adha berjamaah. Yang tidak kalah menarik dan menjadi perhatian kami adalah pakaian sholat yang dikenakan masyarakat Muslim Kamboja tidaklah berbeda dengan muslim Indonesia, mengenakan setelan sarung, baju koko, dan peci atau kopyah, walaupun ada sebagian kecil yang mengenakan gamis ala muslim di Timur Tengah. Selain itu, budaya salaman (meminta maaf) setelah sholat dan makan bersama dengan menu yang tidak jauh ala resep nusantara seperti nasi gulai, lepat, dan lainnya menambah kehangatan kami seperti tinggal di kampong sendiri.
Wajah gembira terlihat di raut wajah seluruh jamaah, mereka saling bertegur sapa sembari diantara mereka saling mengucapkan “ somma ah, somma ah day”, yang berarti dalam bahasa Indonesia “ maafkan saya yah”, begitu pun kami yang jauh datang dari Jakarta, tidak luput dari sapaan dan senyuman mereka. Setelah selesai bersalaman dan makan bersama kami berkumpul di halaman masjid untuk menyaksikan pemotongan hewan kurban amanah pekurban melalui THK Dompet Dhuafa, mereka mendoakan kebaikan dan kemashlahatan para donator dan masyarakat muslim di manapun berada serta berharap program tebar hewan kurban ini senantiasa menguatkan ukhuwah islamiyyah, karena seorang muslim dengan muslim lain adalah saudara walaupn jarak memisahkan diantara keduanya. (Dompet Dhuafa/AFQ)
`~Goresan pena Kang Fauzi~ Takeo, Kamboja 12 September 2016