Kisah Guru SGI Dompet Dhuafa di Pedalaman Soal Efek Kenaikan BBM

Saya tinggal di Indonesia Timur, di tempat yang gak ada mobilnya, ada juga namanya katinting, sampan bermesin menggunakan bensin.

Gak ada pom bensin di sini. Bensin dipasok dari kota, yang karena biaya perjalanannya sebelum naik harganya sudah 15 ribu.

Juga gak ada listrik. Penerangan menggunakan ginset yg lagi-lagi menggunakan bensin. Harga 15 ribu saja kami sudah rela bergelap-gelapan, tanpa dapat informasi dari luar, apalagi sekarang, 8.500 di kota, nanti di kami menjadi 20.000.

Ironisnya lagi kenaikkan BBM ini tak cuma masalah kendaraan saja, tapi semua bahan kebutuhan. Kami hidup di pulau kecil yang semuanya dipasok dari kota, mulai dari sayur-mayur hingga beras, intinya semua bahan kami beli kecuali pisang dan singkong yang terkadang menjadi makanan pokok kami manakala tak mampu membeli beras. Karena BBM naik, jadi semuanya ikutan naik juga.

Yang semakin membuat ironis, kenaikkan BBM ini tidak diiringi dengan naiknya penghasilan kami. Karena kami di sini hanyalah petani pala dan kopra, yang harga keduanya bukannya naik malah turun.

Terima kasih para pemangku kebijakan. Karena bisa jadi angka putus sekolah di sini akan semakin meningkat karena pola pikir di sini yang penting makan, sekolah? Makan saja untung. Oh iya sekolah kami pun harus ke kota karena tak ada SMA disini. Alhasil, bisa jadi kami masih sekolah tapi hanya sampai smp, selebihnya bekerja menjadi pencari batu mulia untuk mencari makan sesuap nasi.

Terima kasih para pemangku kebijakan. Bagi kami kenaikkan BBM ini bukan hanya cerita tentang berpindah dari bensin ke pertamax, tapi ini cerita tentang masa depan kami, tentang sekolah kami.

Dahulunya kami guru, masih mampu membujuk orangtua mereka untuk tetap menyekolahkan anak mereka ke sma di kota, tapi sekarang entahlah, mereka orangtua dihadapkan pilihan makan atau sekolah?

Terima kasih para pemangku kebijakan. Karena wajah pendidikan yg sedang kami rawat di ujung negeri ini semakin suram.

Dan kepada yang terhormat siapa saja yang mampu berpikir sederhana, memberikan solusi berpindah dari bensin ke pertamax. Mari  bantu kami  guru-guru yang sedang mengabdi di sini untuk menjelaskan kesederhanaan solusinya kepada para orangtua. Agar anak-anak yg sedang kami semai impiannya sekarang tetap opimis menatap masa depan.

Shidqul Iltizam Novi
(Relawan pendidikan Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa, Desa Dagasuli Halmahera Utara, Maluku Utara)

*Tulisan telah melalui proses editing tanpa mengurangi substansi tulisan.

Redaksi menerima tulisan citizen journalism. Tulisan dapat dikirim ke [email protected]