Kisah Sepasang Penyintas Polio Berjuang di Tengah Pandemi Agar Kelak Anak-anaknya Mampu Sekolah Tinggi (Bagian Satu)

BOGOR — Sepanjang sejarah dunia, Covid-19 bukanlah satu-satunya virus yang mewabah menjadi pandemi. Beberapa virus mematikan lainnya telah lebih dulu muncul sebagai wabah dunia, bahkan sebelum tahun masehi. Yang tak kalah parah adalah polio atau poliomyelitis, yaitu virus yang dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, bahkan hingga meninggal dunia. Bagaimana jika dua pandemi ini menyerang seseorang dengan sekaligus? Tentu menjadi kejadian yang sangat memilukan. Hal ini yang dirasakan oleh Cecep Supriatna, pria 43 tahun kelahiran Desa Sukawening, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Cecep menceritakan, menurut otangtuanya, ia mengidap penyakit polio ini sudah sejak kecil, hingga menyebabkan kelumpuhan pada kaki kirinya. Kala itu awalnya ia mengalami demam panas. Kemudian oleh orangtuanya dibawa untuk berobat dan disuntik. Mungkin karena keterbatasan pengetahuan ataupun kesalahan diagnosa, ia tak kunjung sembuh hingga beberapa selang lama kemudian ia terdiagnosa polio dan sudah mengalami kelumpuhan.

“Kata orangtua awalnya saya panas, kemudian disuntik, entah ada kesalahan di mana yang kemudian mengakibatkan polio. Sampai umur 2 (dua) tahun dulu katanya saya masih belum juga bisa jalan. Karena mungkin juga di kampung, jadi akses kesehatan dan ke dokter itu sulit. Uang juga tidak ada. Jadi diobatinya ya ke pengobatan tradisional saja,” ceritanya kepada tim Dompet Dhuafa, saat ditemui di kediamannya, pada Senin (7/2/2022).

Sejak itu hidupnya tak akan bisa senormal orang-orang pada umumnya. Berbagai perjalanan hidup ia rasakan berbeda dengan teman-teman di sekitarnya. Di tahun yang seharusnya ia mulai masuk sekolah dasar, ia belum kuasa untuk menjalaninya. Setelah berbagai pertimbangan, ia kemudian mulai masuk sekolah dasar setelah berumur 8 (delapan) tahun, hingga akhirnya lulus sekolah menengah atas.

“Orang-orang ke sekolah pakai sepatu, saya tidak bisa pakai sepatu. Pakai sandal saja tidak bisa. Jadi dulu kalau pakai sandal, yang kiri itu rusaknya cepat karena tumpuannya di kiri. Pas kelas 2 SD saya baru mau dan berani pakai sepatu,” lanjutnya.

Pasca lulus dari sekolah, justru membuatnya semakin gelisah karena tak ada lagi yang membuatnya memiliki kesibukan. Beberapa tak melakukan apa-apa, suatu ketika ia mendengar dari seorang teman bahwa ada orang yang memiliki kekurangan fisik sepertinya, bahkan lebih malang, namun mampu memiliki usaha, memiliki istri dan anak.

Sedangkan ia yang merasa memiliki fisik lengkap hanya tidak mampu tegak jalan saja, harusnya bisa seperti orang itu. Dari situ kemudian timbul rasa motivasi dan semangat bahwa ia harus bangkit. Saya kemudian berusaha untuk tidak hanya menjadi beban bagi orangtua, tidak ingin bergantung kepada orang lain, harus bisa mandiri, dan juga pasti bisa memiliki keluarga.

Merantaulah Cecep untuk bergabung pada sebuah pelatihan yang diadakan oleh Dinas Sosial bagi para disabilitas. Di sana juga ia bertemu dengan seorang wanita yang sangat mengertinya dan yang kelak akan dinikahinya. (Dompet Dhuafa / Muthohar)