Kondom

Selain heboh Piala Eropa yang membuat sebagian kita kurang tidur dan telat ngantor, kehebohan lainnya di minggu ini adalah pernyataan Menteri Kesehatan RI kita yang baru yang dilansir sebuah media online tentang rencana mempermudah akses remaja untuk mendapatkan kondom sebagai tindak cegah angka aborsi dan kelahiran usia dini. Kehebohan ini makin tak terkontrol setelah seorang aktivis parenting membagi info ini di twitterland, karuan dunia social media yang memang tidak ada ampun menggiring ini menjadi trending topic yang ramai dibicarakan.

Adalah sebuah benda bernama kondom, yang dalam bahasa latinnya Condon artinya Penampung. Menurut sejarah, kondom ditemukan pada tahun 1564 ketika Gabrielo Fallopia, seorang dokter berkebangsaan Italia merekomendasikan penggunaan sarung linen yang berfungsi sebagai pelindung terhadap penyakit menular seksual. Bukti sejarah juga menemukan kondom pernah dibuat dari usus hewan yg disterilkan, kain sutra berminyak, selaput ikan sampai yang terkini, lateks. Dalam perkembangan kedokteran modern, kondom direkomendasikan sebagai salah satu alat kontrasepsi yang cukup diandalkan untuk menekan angka kelahiran.

Problem muncul manakala terjadi disfungsi kegunaan dari kondom itu sendiri. Aktivis seks bebas melegitimasi kondom sebagai cara aman untuk menunaikan kemaksiatan, tanpa harus dibayangi ancaman penyakit kelamin menular. Indonesia sejak lama memerangi seks bebas, di mana iklan kondom dibatasi waktu dan jam tayangnya, konten iklan pun harus menghormati kaidah agama dan ketimuran bangsa, bahkan konteks komunikasi dalam iklan kondom lebih mengarah pada alat kontrasepsi.

Maka, sungguh sebuah kekeliruan besar ketika Menkes yang diharapkan menjadi garda awal pendukung edukasi seks kepada remaja, mengeluarkan pernyataan yang buat “gempa bumi”para ibu yang paling khawatir seks bebas di kalangan remaja. Tak terhitung pakar pendidikan, pakar psikologi remaja dan pakar kesehatan mengeluarkan pernyataan bahwa tingginya aborsi dan kelahiran usia dini, bukan pada akibat perilaku si remajanya, tapi pada sebab lemahnya proses edukasi dini tentang bahaya seks bebas di kalangan remaja.

Solusi yang Menkes tawarkan lebih pada melegitimasi akibat, bukan membatasi sebab, misalnya menggalakkan pendidikan agama, moral, edukasi keluarga harmonis, seminar kesehatan reproduksi dan bahaya narkoba. Semoga Ibu Menkes yang beru diantik beberapa waktu lalu ini menyadari kekhilafannya dan menemukan solusi yang lebih edukatif dan rasional. Bimbinglah masyarakat taat beragama dan menjauhi zina.

Teruslah berjuang melindungi buah hati kita wahai Ayah-Bunda. Peluk erat dan janjikan bahwa anda akan mengantarkan mereka ke masa depan yang gemilang. / TRQ