Korupsi Menyuburkan Kemiskinan

Korupsi dan kemiskinan saat ini menjadi sebuah kombinasi yang membentuk image Indonesia di luar. Bukan saja angka kemiskinan di Indonesia yang masih sangat tinggi, tapi peringkat korupsi di negara ini juga terbesar. Predikat sebagai negeri dengan kekayaan melimpah sangat berbanding terbalik dengan ‘prestasi’ kemiskinan dan korupsi yang diraih.

Upaya pemerintah Indonesia mengentaskan kemiskinan dengan mengeluarkan berbagai skema pembangunan dan kesejahteraan, khususnya dalam sepuluh tahun terakhir belum cukup mengangkat derajat kesejahteraan rakyatnya.

Angka kemiskinan terakhir menunjukkan jumlah orang miskin di negeri ini mencapai 30 juta jiwa (BPS 2011). Jika ditambah dengan kelompok yang hampir miskin, jumlahnya mencapai 50 juta jiwa lebih. Memang, jumlah ini menurun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 32 juta jiwa. Namun, patut juga diwaspadai, jumlah penduduk miskin di Indonesia mempunyai kecenderungan meningkat ataupun stagnan seiring dengan penambahan jumlah penduduk. Malah, dengan menggunakan standar berbeda, Bank Dunia (World Bank) menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 100 juta jiwa.

Angka ini memang debatable, tapi satu hal yang pasti bahwa kemiskinan di negeri ini masih sangat besar. Fakta itu bisa kita temukan dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari. Kemiskinan dengan beragam bentuknya, baik di kota, pedesaan, apalagi pedalaman.

Pertanyaan yang selalu muncul adalah bagaimana kemiskinan di negeri ini bisa sangat besar jumlahnya sedangkan anugerah kekayaan alam negara ini sangat melimpah. Pengakuan itu bahkan datang dari negara-negara lain. Tentu ada faktor kesalahan dalam pengurusan dan pengelolaan kekayaan alam yang melimpah di negeri ini, sehingga para penghuninya banyak yang tidak menikmati kesejahteraan. Dengan kata lain, kemiskinan di negeri ini tercipta secara sistemik, bukan dengan sendirinya.

Pekan lalu, lembaga Transparency International (TI) merilis indeks persepsi korupsi terhadap 183 negara. Hasilnya, lembaga kredibel tingkat dunia itu merangking Indonesia pada urutan 100 dengan skor 3,0. Angka ini 0,2 lebih tinggi dibanding tahun tahun lalu 2,8. Peringkat Indonesia masih di bawah Singapura (9,3), Brunei Darussalam (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4). Berdasarkan perhitungan TI, negara dengan skor 0 dianggap sebagai yang terkorup, sedangkan angka 10 adalah yang paling bersih. Seakan IPK ini menjadi kado ‘istimewa’ bagi bangsa Indonesia di hari korupsi internasional yang jatuh pada hari ini.

Praktek korupsi di Indonesia seakan sudah menjadi tradisi dan ‘mendarah daging’. Kalau kita perhatikan, praktek ini terjadi mulai dari kalangan bawah hingga para pemimpinnya. Mulai dari yang bentuknya sederhana sampai yang melalui berbagai modus.

Penasehat Khusus Sekretaris Jenderal PBB ketika dijabat Kofi Annan dulu, Jeffrey D Sachs pernah mengatakan,  korupsi menjadi penghambat penting dalam upaya pengentasan kemiskinan di sejumlah negara Asia. Tidak saja penghambat, tetapi juga benalu dalam pembangunan. Investasi menjadi terhambat akibat berbagai praktek korupsi dalam birokrasi.

Di tengah gencarnya program pembangunan pemerintah yang menerapkan strategi “tiga jalur”(triple track strategy) yaitu pro-kaum miskin (pro-poor), pro-pertumbuhan (pro-growth), dan pro-lapangan kerja (pro-job), maraknya praktek korupsi tentu sangat menyakitkan. Di satu sisi pemerintah bersama dengan lembaga-lembaga sosial terus melakukan pengentasan kemiskinan melalui berbagai program pemberdayaan. Tapi di sisi lain, banyak oknum yang melakukan pemiskinan melalui korupsi.

Sebagai ilustrasi, sejak dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2003, jumlah uang korupsi yang baru berhasil diselamatkan lembaga ad hoc tersebut hingga tahun 2010 mencapai Rp 6,2 triliun. Jumlah itu masih sedikit dibanding total uang yang dikorupsi. Sebagai contoh, jika asumsi jumlah uang yang dikorupsi adalah berdasarkan tingkat kebocoran APBN 2011 adalah 30 persen, maka jumlah uang negara yang dikorupsi angkanya mencapai sekitar Rp 240 triliun dari jumlah APBN 2011 yang sebesar Rp 1200 triliun. Bisa dibayangkan, dengan uang Rp 6,2 triliun saja bisa dibangun sekitar 90 ribu rumah sederhana bagi kaum duafa. Apalagi jika Rp 240 triliun?

Dampak korupsi terhadap lahirnya kemiskinan memang tidak dirasakan langsung dan berjangka panjang. Namun dampak tersebut bersifat massal kepada kelompok masyarakat, bukan secara individu. Ada distribusi kekayaan yang terputus, terkurangi, ataupun tidak seimbang dalam perputaran ekonomi. Ada hak kaum duafa yang terkorupsi sehingga tidak sampai pada mereka hak-hak tersebut. Disinilah korupsi itu menjadi benalu yang melahirkan kemiskinan.

Tanpa disadari, perilaku koruptif telah menyuburkan kemiskinan dalam waktu panjang. Praktek korupsi menunjukkan sikap ketidakpedulian kepada nasib jutaan warga Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Kaum duafa ini begitu sulit untuk mendapatkan uang satu rupiah pun dalam sehari untuk hidup, sementara sekelompok yang lain dengan angkuh begitu mudah mendapatkan miliaran rupiah melalui jalan yang haram. Betapa pun hebatnya pertumbuhan ekonomi negara, tidak akan berdampak kepada perbaikan nasib bangsa ketika korupsi masih menjadi benalu yang menghinggapi pohon pembangunan sehingga nutrisi kesejahteraan yang seharusnya dirasakan kaum duafa tidak tersampaikan.

Semoga momentum hari korupsi internasional dan terpilihnya ketua pimpinan baru KPK bisa membawa harapan baru pemberantasan korupsi di Indonesia[]