Kualitas Guru Tidak Boleh A la Kadarnya

Berbicara kualitas manusia sebuah bangsa erat hubungannya dengan sejauh mana kualitas pendidikan yang terselenggara. Kualitas pendidikan berkaitan dengan sejuah mana kualitas guru. Tidak berlebihan, bila guru adalah garda terdepan dalam perjuangan mengangkat kualitas sumber daya manusia (SDM) sebuah bangsa.

Namun, bagaimana jadinya jika guru sebagai garda terdepan dalam pendidikan itu tidak berkompeten dan berkarakter? Lantas, bagaimana pula jika para guru memahami perannya hanya sebagai sekadar profesi, bukan kesempatan membentuk generasi bangsa yang unggul?

Mengajar memang tugas guru. Namun lebih dari itu, ia juga harus mendidik dan mentransfer nilai-nilai moral (values) kepada anak didiknya. Ia harus menjadi sosok teladan dan inspiratif. Guru yang menginspirasi orang-orang di sekitarnya untuk mau mengubah hidup lebih baik.

Menata serius soal pendidikan terutama kualitas guru tidak bisa digarap tunggal. Bertindak secara kolektif pilihan yang harus dijalani. Mengandalkan pemerintah saja jelas bukan jalan bijak. Sinergi antara pemerintah dan segenap pemerhati pendidikan baik lembaga pemberdayaan maupun yayasan harus terjalin. 

Kita harus sepakat bahwa perhatian terhadap guru tidak boleh alakadarnya. Perhatian terhadap guru tentu juga harus mencakup terhadap kesejahteraan. Jika tidak begitu, kualitas guru hanya alakadarnya dan menjurus tidak berkompeten. Kualitas guru yang buruk adalah bencana sosial. Tidak terbayang jadinya para siswa notabene generasi penerus bangsa mendapati kualitas guru yang demikian.

Kegelisahan atas kondisi tersebut mendorong Dompet Dhuafa menginisiasi program untuk meningkatkan kualitas guru khususnya dan pendidikan secara umum. Komitmen dan perhatian Dompet Dhuafa tersebut diwujudkan melalui Sekolah Guru Indonesia (SGI).

SGI didirikan untuk menjawab permasalahan dalam dunia pendidikan kita, dengan mencetak guru yang berkepribadian cerdas secara spiritual, sosial, dan intelektual, selain mempunyai profil personality skill, teaching, dan learning skill yang sangat baik.

Program ini berupaya membentuk sosok dan figur guru sebagai model dan teladan bagi guru lain di sekolah marjinal di berbagai pelosok Nusantara. Tidak hanya itu, tuntutan sebagai teladan berlaku di lingkungan luar sekolah. Ia harus menjadi panutan bagi masyarakat. Hal ini lantaran para guru SGI akan ditempatkan setahun di berbagai daerah seperti Lampung, Belitung, Sambas, dll.

Melalui program tersebut, perubahan pun hadir di sekolah tempat guru SGI ditempatkan. Perubahan di beberapa lokasi bahkan tertoreh berupa prestasi tinggi regional maupun nasional. Seperti yang terjadi di Paupau, Sulawesi Selatan. Kehadiran guru SGI mampu membawa sekolah di pinggir Bandar Udara itu menjadi sekolah standar nasional.

Selama masa penempatan, para guru SGI mendapatkan berbagai support dari Dompet Dhuafa. Semua pembiayaan tersebut berupa akomodasi; tempat tinggal dan transportasi pulang-pergi (SGI- lokasi penempatan), biaya hidup selama penempatan, tunjangan kesehatan, tunjangan prestasi dan dana pemberdayaan masyarakat.

Alumni SGI hingga kini sudah mencapai lebih dari 100 guru. Para almumi mayoritas menjadi guru di sekolah jaringan Dompet Dhuafa dan mitra SGI. Sebagian lagi dari mereka menjadi trainer pendidikan dan penulis.

Dengan keterlibatan Dompet Dhuafa dalam upaya meningkatkan kualitas guru melalui SGI diharapkan dapat mencetak banyak guru berkarakter dan inspiratif. Momen Hari Guru Nasional yang jatuh 25 November ini sejatinya dijadikan untuk menengok ulang atau me-refresh kembali visi dan tujuan pendidikan serta peran guru.

SGI merupakan tawaran dari Dompet Dhuafa sebagai model pendidikan guru kepada para stakeholder pendidikan dan pemerintah guna menghasilkan guru yang berkarakter. Dengan begitu, wajah pendidikan akan gemilang guna mencetak anak-anak bangsa yang berkualitas. (gie)