Kurban Dan Ketahanan Pangan

Terkejut. Mungkin itulah ekspresi pertama setiap orang ketika mendengar atau mengetahui data kemiskinan dan kelaparan yang dirilis Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (UN FAO) tahun ini. Data itu menyebutkan, krisis pangan yang melanda banyak negara tiga tahun terakhir akibat krisis ekonomi telah menyebabkan jumlah orang lapar di dunia saat ini mencapai 1,02 miliar orang. Jumlah ini naik 11 persen dari tahun sebelumnya 915 juta orang. Ironisnya, golongan orang lapar terbesar adalah anak-anak akibat gizi buruk, krisis sosial-politik-militer dan krisis pangan yang melanda negeri mereka.

Lebih mengejutkan lagi, riset UN FAO ini juga mengatakan, 65 persen dari jumlah orang yang terjebak kelaparan di dunia, tujuh negara dikategorikan sebagai ‘penyumbang’ terbesarnya. Indonesia salah satunya. Enam negara lainnya yakni China, India, Kongo, Bangladesh, Pakistan, dan Ethiopia. Bahkan Global Hunger Index (GHI) memasukkan Indonesia dalam kategori ‘serius’.

Terlepas percaya atau tidak, benar atau keliru data-data yang disampaikan UN FAO, tentu saja hal itu menjadi tantangan sekaligus tamparan keras pemerintah. Ternyata di tengah gencarnya pembangunan yang sedang berjalan, masuknya Indonesia ke dalam jajaran kelompok negara G-20, dan pertumbuhan makroekonomi Indonesia yang surplus bersama India dan China dibanding negara-negara lain, jumlah orang miskin dan lapar di negeri ini masih sangat tinggi. Mereka berada di sekitar kita, dekat dengan kita.

Isu pangan, kemiskinan dan kelaparan memang tidak pernah hengkang dari negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini. Panggung kehidupan rakyat Indonesia selalu dipenuhi dengan berbagai fenomena kemanusiaan yang mengiris hati. Seakan kemakmuran para penghuni negeri ini berbanding terbalik dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Bayang-bayang kemiskinan dan kelaparan masih menghantui jutaan orang Indonesia, terutama bagi mereka yang tinggal jauh dari pusat pemerintahan.

Biro Pusat Statistik (BPS) 2011 menyebutkan angka kemiskinan di Indonesia mencapai lebih dari 31 juta orang. Jumlah ini diprediksi meningkat pada tahun 2012 menyusul meningkatnya inflasi akibat krisis keuangan dunia. Tingginya angka kemiskinan tentu berbanding lurus dengan besaran potensi orang-orang yang mengalami kelaparan akibat krisis pangan. Karena seseorang menderita kelaparan, tentu disebabkan karena faktor ketidakberdayaan ekonomi untuk membeli konsumsi.

Sikap yang bijak adalah menjadikan data UN FAO tersebut sebagai cambuk dalam mengambil kebijakan pangan di Indonesia. Boleh saja tidak setuju. Tetapi faktanya, hampir setiap hari berbagai media menyuguhkan informasi yang mengusik rasa kemanusiaan kita yang paling dasar. Masih banyak orang Indonesia yang kelaparan, memakan nasi aking, ataupun anak-anak balita yang terserang busung lapar di penjuru Tanah Air.

Pemerintah akhirnya melakukan kebijakan impor untuk memenuhi kekurangan stok pangan nasional dan mencegah terjadinya kelaparan. Namun kebijakan tersebut terkesan hanya berjangka pendek. Pemerintah menggelontorkan uang Rp 45 triliun dalam periode Januari-Juni 2011 untuk mengimpor kebutuhan pangan nasional. Sungguh angka yang sangat fantastis.

Angka ini jelas menggambarkan tingkat ketergantungan Indonesia yang sangat tinggi dalam impor pangan. Bahkan untuk urusan beras, Indonesia disebut sebagai negara pengimpor terbesar kedua setelah Nigeria diikuti Filipina dan Arab Saudi.

Seandainya anggaran triliuan rupiah itu dipergunakan untuk mendukung kebijakan strategis guna mendorong industri pertanian dan pangan nasional dalam jangka panjang, bukan tidak mungkin percepatan pengentasan kemiskinan dapat diwujudkan, tidak sekedar menghilangkan orang lapar. Semua itu menggambarkan satu kesimpulan: ketahanan pangan di negeri ini masih sangat lemah!

Refleksi Kurban

Satu hal yang harus diyakini, adalah setiap ajaran Islam memiliki kandungan yang multidimensi, tidak berdiri sendiri dan saling terkait antara perintah yang satu dengan perintah lainnya. Demikian juga dalam perintah berkurban. Perintah berkurban mempunyai dimensi spiritual dan sosial, vertikal dan horizontal. Kurban bukanlah ritual tahunan yang sekedar menggelar ‘pesta daging’, tapi lebih dari itu, Idul Kurban (sebagaimana perintah berzakat) mengisyaratkan semangat kesetiakawanan, penyaluran kekayaan, dan pemerataan kenikmatan.

Sayangnya, ritual kurban selalu dilakukan bak ‘pesta besar’ yang meninggalkan kotoran hewan dan bercak darah di mana-mana. Penikmat daging kurban kebanyakan hanya orang-orang terdekat. Sementara esensi pemerataan kenikmatan tidak dirasakan oleh kaum fakir miskin. Selesai ibadah kurban, maka orang-orang lapar itu kembali kepada rutinitas ‘kelaparannya’ sehari-hari.

Sebagian besar masyarakat melihat kurban bak “lebaran” yang mengakhiri puasa panjang mereka untuk bisa makan dengan lauk pauk berdaging. Banyak keluarga di negeri ini yang konsumsi pangan mereka hanya berkutat pada nasi dan sayur ala kadarnya. Mereka sangat jarang mendapatkan lauk daging, apalagi di tengah krisis ekonomi yang tidak tahu kapan akan berakhir, dan krisis pangan dunia yang masih terjadi.

Akibat kurangnya asupan protein hewani pada keluarga miskin, sebagian besar anak keluarga tersebut kehilangan potensi untuk berkembang secara optimal dan maksimal.  Ketahanan fisik terganggu, dan pertumbuhan intelektual juga tidak maksimal karena perkembangan sel-sel otak yang tidak optimal.

Setiap orang berhak untuk mendapatkan pangan yang memungkinkannya untuk memiliki hidup yang sehat dan produktif. Ketidakberdayaan warga miskin untuk memenuhi pangan yang bisa menopang hidup sehat dan produktif, lebih banyak disebabkan oleh rendahnya tingkat daya beli mereka. Sementara daging adalah simbol kemewahan.

Sudah semestinya kurban dijadikan momentum untuk melihat ibadah tahunan ini tidak sebatas praktek penyembelihan belaka ataupun ‘pesta daging’ massal. Tetapi lebih dari itu, sebagai salah satu solusi bagaimana mengentaskan kemiskinan, memeratakan kesejahteraan, dan mendorong ketahanan pangan rakyat miskin.

Praktek yang dilakukan Tebar Hewan Kurban (THK) dapat menjadi inspirasi. Bukan saja mampu menebarkan daging kurban hingga ke pelosok-pelosok negeri, tapi juga berhasil meningkatkan kesejahteraan para peternak hewan kurbannya. Karena daging-daging kurban yang diterbarkan berasal dari komunitas peternak hewan kurban yang juga diberdayakan oleh lembaga sosial tersebut. Kerawanan pangan itu sesungguhnya bermula dari kemiskinan. Sedangkan ketahanan pangan yang kokoh hanya dapat diwujudkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan.

Sangat benar dan terbukti apa yang disabdakan Rasulullah saw empat belas abad silam. Beliau berpesan, “Kemiskinan bukan ditentukan oleh tidak dimilikinya satu atau dua biji kurma. Tetapi ditentukan oleh ketidakmampuan mengelola sumber daya.” []