Luluk Khisbiyah: Berdayakan Masyarakat untuk Tabungan Akhirat

Pribadinya yang cendurung pendiam, sempat membuatnya ragu untuk terjun ke dunia pemberdayaan. Kekhawatiran seolah muncul dalam diri Luluk Khisbiyah (26), salah satu pendamping (relawan) Program Klaster Mandiri Dompet Dhuafa di Tuban, Jawa Timur. Kekhawatiran yang muncul dalam benaknya seperti, jika bertemu dengan masyarakat apa yang akan disampaikan, bagaimana cara penyampaian yang baik? Maukah masyarakat mendengarkannya?.

Namun, kekhawatiran dan keragu-raguan dalam benak perempuan alumni Universitas Jember, Jurusan Ilmu Pertanian ini, semakin memudar. Semangatnya untuk belajar dalam dunia pemberdayaan membuatnya mengambil tantangan menjadi pendamping program pemberdayaan.

Bagi Luluk, menjadi pendamping masyarakat berarti mampu membuka wawasan tentang bagaimana hidup bermasyarakat, bagaimana bergaul di masyarakat dalam satu komunitas dari orang biasa sampai pemangku kepentingan. Menurutnya, menjadi pendamping merupakan pekerjaan yang unik, karena tidak sekedar bekerja, namun terkandung juga nilai ibadah.

“Bekerja bukan hanya untuk di dunia, tapi bekerja untuk manfaat banyak orang, yang bisa menjadi tabungan akhirat kelak,” ujar perempuan kelahiran Jombang, Jawa Timur, 5 September 1987 ini.

Ia menjelaskan, pendamping tidak sekedar melaksanakan tugasprogramsemata, namun pendamping dituntut mampu menjadi teladan bagi masyarakatnya. Mampu memberikan ilmu-ilmu selama belajar di Perguruan Tinggi.

“Dalam program tidak melulu masalah ekonomi namun juga pendidikan, sosial dan penanaman mindset,” terang Luluk.

Di balik kesungguhan dan keihklasan Luluk dalam membangun masyarakat, membuat seorang pemuda menaruh hati padanya yang kemudian menikahinya di awal tahun 2014. Ia sangat bersyukur, apa yang dilakukannya ternyata menjadi rezeki bagi kehidupannya.

“Sekarang kalau menghadiri pertemuan mitra dimalam hari selalu ditemani oleh suami saya,” ucapnya senang.

Pendampingan program klaster Mandiri Tuban dimulainya pada tahun 2011 di Desa Wolutengah dan Desa gaji, Kabupaten Tuban, Jawa Timur.Ketika memasuki kawasan yang menjadi wilayah dampingan, Luluk sempat tercengang dan kaget seketika.

Saat belum menikah, Luluk tinggal bersama dengan orangtuanya yang tinggal di Dusun Bunder Desa Gebangbunder Rt01 Rw07 Plandaaan, Jombang, Jawa Timur. Sekitar 3 jam lebih waktu yang ditempuh untuk menuju desa yang menjadi lokasi dampingannya.

“Sekarang saya ikut suami, dan menetap di Tuban. Alhamdulillah sudah dekat dengan lokasi pendampingan,” ujar ibu yang belum dikaruniai anak ini.

Ia menggambarkan, 2 desa yang menjadi lokasi dampingannya tersebut masih lumayan pelosok, yang masih kental dengan adat jawa, wajah-wajah khas pedesaan. Menurutnya,di 2 desa tersebut, masih banyak ibu-ibu yang berpakaian tradisional. Kebanyakan rumah warganya masih berdiri dengan bangunanrumah yangterbuat dari kayu, beralaskan tanah. Selain itu, banyak warga di lingkungan tersebut yang memelihara anjing, dan kesenjangan sosial yang tinggi.

“Yang saya kagumi di wilayah dampingan ini jiwa gotong-royong masih tinggi,” terang perempuan yang memiliki cita-cita menjadi pembudidaya tanaman ini.

Luluk menceritakan, mayoritas mata pencaharian masyarakat setempat adalah bertani,mulai dari dataran rendah sampai pegunungan. Jenis tanaman yag dibudidayakan diantaranya adalah jagung, kacang dan ketela pohon. Hampir seluruh petani didesa ini menanam ketela pohon lantaran kondisi tanah dan ketersediaan air yang mendukung dan cocok untuk ditanami ketela pohon,maka tak jarang banyak penduduk yang memang sudah mengolah ketela pohon menjadi produk turunan berupa krupuk singkong, kripik singkong dan uyel (terbuat dari tepung gaplek).

Merintis program pemberdayaan di wilayah ‘antah berantah’ memang tidak mudah. Perlu penyesuaian diri terhadap lingkungan yang baru. Perbedaan karakter, kebiasaan membutuhkan waktu untuk proses adaptasi. Belum lagi dalam masyarakat sendiri juga mempunyai karakter yang berbeda. Perbedaan karakter terkadang memunculkan riak-riak kecil di kelompok.

Disitulah peran pendamping sangat dibutuhkan, tidak gampang menyelesaikan permasalahan antarmitra. Namun kebanyakan mitra sedikit segan bila pendamping yang berbicara, faktor orang luar dan dipandang ‘lebih pintar’ berpengaruh terhadap kemudahan dalam menyelesaikan permasalahan.Ia juga bersedia datang ke pertemuan mitra yang dilaksanakan pada malam hari, dengan sabar ia mengikuti pertemuan sampai selesai. Terkadang baru selesai jam 9 malam.Pertemuan rutin dilakukan setiap 2 minggu sekali di masing-masing kelompok. Pertemuan rutin selain membahas investasi juga penyampaian materi tentang motivasi usaha, bussiness plan.

Sifat keibuan yang dimilikinya mampu membuat mitra nyaman, tanpa harus menjaga jarak dengan mitra. Semua terlihat bagaimana ia mampu mengkomunikasikan setiap program dengan baik, dan mitra dapat menerima. Jiwa sosialnya yang sangat tinggi, membuatnya banyak membantu proses belajar para mitra. ia memberikan pelatihan komputer gratis kepada mitra. Keterbatasan sarana, tidak membuatnya menjadi patah semangat, ia mengajar komputer secara bergantian.

“Dulu sebelum menjadi pendamping, saya nyambi (bekerja) privat atau les, sebenarnya saya juga senang mengajar,” ujarnya.

Pengabdiannya selama 3 tahun membuahkan hasil. Sampai saat ini jumlah mitra yang berhasil ia ajak untuk mengikuti program sebanyak 10 kelompok dengan jumlah mitra 77 yang dibagi 2 desa yaitu Desa Wolutengah dan Desa Gaji dnegan rincian KM Jelita Indah (3 Mitra), KM Mekar Jaya (9 mitra), KM Melati Indah (6 Mitra), KM Mekar Abadi (8 Mitra), KM Gading (7 Mitra), KM Kenanga (8 mitra), KM Karya Cipta Bersama (11 Mitra), KM Karya Anugerah Bersama (11 mitra), KM Sri Rejeki (9 mitra) dan KM Barokah (5 mitra).

Dalam menjalankan program, sekarang ia sudah dibantu oleh kader lokal yang bisa menggantikan tugasnya ketika ia berhalangan. Mereka adalah pengurus Ikhtiar Swadaya Mitra (ISM) Al-Hidayah yang dibentuk sebagai lembaga yang yang menaungi kegiatan mitra program klaster mandiri program.

Dengan adanya pengurus ISM, tidak membuat Luluk santai berleha-leha.Sekarang ia lebih fokus mengembangkan usaha ISM. Untuk mengembangkan usaha mitra terutama batik khas Tuban, yakni Batik Gedog.

“Program sedang membuat showroom batik ‘Griya Batik’ untuk memfasilitasi penjualan batik mitra,” ungkapnya.

Luluk menjelaskan, Batik Gedok merupakan batik yang memiliki ciri khas dalam corak batiknya yaitu bercorak sirip pada tepi-tepi tiap corak nya. Uniknya, kerajinan ini hanya dikerjakan oleh warga yang berada di wilayah Tuban, yakni Desa Margorejo, Gaji  dan Karangrejo, Kecamatan Kerek, yang letaknya sekitar 27 km arah barat Tuban. Saat ini tenun Gedog sudah jarang bisa ditemui karena hanya tinggal beberapa generasi usia lanjut yang menekuninya.

“Dalam pendampingan yang saya lakukan, saya juga memberi suntikan motivasi kepada mitra yang berusia remaja, agar Batik Gedok terus dibudidayakan,” ujarnya bersemangat.

Harga dari batik gedog cukup bervariasi dan terjangkau. Harga batik cukup bervariasi tergantung daerah pembuatannya. Harga batik berkisar antara Rp.75.000,-Rp.115.000.

Dibalik sosok pendiamnya ada karakter yang menjadi kelebihan yang dimiliki Luluk, dimana ia mampu menjalin komunikasi dengan pihak diluar program. komunikasi yang sudah dibangun selama ini yaitu dengan Puskesmas Kecamatan Kerek, Dinas Kesehatan Tuban, Dinas Perekonomian dan Pariwisata Tuban serta Koperasi Pondok Pesantren Nusya di Kecamatan Merakurak.Sinergi dalam upaya penguatan akses pemasaran batik juga dilakukan dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tuban dan Propinsi Jawa Timur.

Baginya keberhasilan mitra menjadi kebahagiaan tersendiri. Melihat sedikit saja perubahan usaha mitra membuat hatinya berbunga-bunga. Semangat dirinya untuk membuat mitra meningkat kesejahteraannya, ternyata mampu membuatnya keluar dari ‘tempurung’ keraguan akan kemampuan diri. (uyang)