Mad Tarip Dai di Pelosok Pandeglang, Berjuang Wujudkan Generasi Islam yang Gemilang

PANDEGLANG, BANTEN — Mad Tarip merasa begitu bahagia tatkala anak-anak didiknya mampu membaca dan menulis Alquran. Di musim hujan yang tak menentu ini, ia tetap semangat dan tegar mendampingi anak-anak mengaji dan mengamalkan isi-isi Alquran. Pria 55 tahun penerima manfaat program Bantuan Dai Pelosok Dompet Dhuafa ini mengabdikan dirinya untuk belajar dan mengajarkan agama Islam.

Lahir dan Tinggal di kampung Tanjung Kembang, desa Cibitung, kec. Munjung, kab. Pandeglang, keseharian Tarip penuh dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Aktivitas utamanya adalah sebagai pengajar mengaji anak-anak di sebuah bangunan kecil yang ia sebut Gubug Majelis Taklim bertempat di depan rumahnya. Selain itu, ia juga menggelar pengajian agama bagi ibu-ibu di sekitar lingkungannya. Sedangkan pengajian untuk bapak-bapak, ia lakukan di 4 (empat) musala di kampung-kampung sekitarnya.

Mad Tarip sedang mengajar ngaji salah satu santrinya
Salah satu santri Mad Tarip

Tidak sampai di situ, rutinitas pagi harinya adalah mengajar secara formal di sebuah Madrasah Diniyah sebagai guru lepas. Di Gubug Majelis Taklim, Tarip setiap hari Jumat sore, ia rutin menggelar pengajian untuk masyarakat sekitar. Beberapa kegiatannya yaitu mengaji Alquran, yasinan, mengaji kitab fathul qorib dan kegiatan keagamaan lainnya. Namun sayangnya, tempat ia menggelar pengajian dirasa begitu sempit. Padahal jamaah yang hadir bisa mencapai 40 hingga 50 orang.

“Jadi mondar-mandir saya mengajar pelajaran-pelajaran agama. Pagi saya ke madrasah, sorenya mengajar TPA untuk anak-anak, kemudian maghrib di musala untuk bapak-bapak. Aktivitas mingguannya, setiap malam Minggu pengajian untuk bapak-bapak, sedangkan untuk ibu-ibunya malam Jumat,” ceritanya kepada tim Dompet Dhuafa, pada Jumat (19/8/2022).

Dakwah Islam untuk pembinaan dan pendampingan masyarakat tidak bergelora pada masyarakat kota saja. Justru di pedesaan dan perkampungan, masyarakatnya memiliki antusias yang begitu tinggi. Nyatanya, kondisi masyarakat pelosok cenderung memiliki pola pikir yang polos dan sederhana. Belum lagi faktor ekonomi yang kurang sehingga sangat rentan terhadap pengaruh luar.

Tim Dompet Dhuafa menemui Mad Tarip di depan Gubug Majelis Taklim
Mad Tarip mengumpulkan kayu bakar dari hutan

Meski Mad Tarip juga hidup dalam keluarga dengan keterbatasan, ia tetap bersemangat untuk belajar dan menebar dakwah ajaran Islam. Sebagai seorang dai yang tak mendapat bayaran tetap, ia berusaha memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari dengan bekerja sebagai petani dan pengumpul kayu bakar. Di samping itu, bersama sang istri, ia membuka dagangan warung di bagian depan rumah sederhananya.

Hebatnya Tarip, kedua anaknya mampu menempuh pendidikan di kota dengan gelar sarjana. Ia benar-benar merasa bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi anak. Namun, meski memiliki keterbatasan dana, Tarip dan istri meyakini bahwa Allah akan mendatangkan rejeki dari mana asalnya. Nyatanya benar, kedua anak perempuannya mendapat beasiswa penuh dari donatur untuk menempuh jenjang perguruan tinggi sarjana.

“Saya sempatkan juga ke sawah di waktu siang usai dhuhur, karena memang kosongnya di waktu tersebut. Nanti sorenya juga langsung berangkat ngajar anak-anak TPA,” imbuhnya.

Rejeki lain yang ia selalu syukuri adalah kesehatan dirinya dan keluarganya. Menurutnya, ia selalu merasakan sehat dan bugar meski dengan kegiatan yang begitu padat setiap hari. Ia juga merasakan ketenangan dalam hidup meski hidup di kampung dengan keterbatasan materi. Dari segudang aktvitasnya tersebut, Tarip tidak memperoleh honor khusus dari hasil mengajarnya. Namun, katanya, pada waktu usai musim panen padi, warga mengumpulkan sebagian hasil panennya untuk diberikan kepada Tarip.

“Meskipun banyak aktivitas, alhamdulilah badan selalu sehat terus dan perasaan juga selalu tenang. Insha Allah dengan banyak berdzikir, saya merasa selalu tenang dan tak ingin banyak mengeluh. Saya merasa ini menjadi tugas bagi saya untuk terus menyiarkan agama Islam. Dengan begitu saya terus merasa enteng ke sana ke mari,” ucapnya.

Istri Mad Tarip menjaga warung dagangannya
Mad Tarip mengumpulkan kayu bakar dari hutan

Dengan nada rendah, ia mengatakan, dirinya memang bukan kaum yang bergaji. Namun alhamdulilah, selalu ada saja rejeki yang masuk untuk pendidikan anak-anaknya. Saat ini, kedua putrinya sudah lulus S1 dan sudah mendapat pekerjaan di kota. Ia terus saja bersyukur dan meyakini bahwa rejeki datangnya dari mana saja dan berupa apa saja. Dengan badan yang selalu sehat saja ia rasa sebagai rejeki yang luar biasa yang diberikan Allah kepadanya dan keluarga.

Tarip mulai menjadi mengajarkan pelajaran-pelajaran agama sejak tahun 1999. menurut ceritanya, dulu ada dana hibah dari kabupaten senilai 3 juta untuk satu tahun bagi guru-guru agama honorer. Namun, tidak lama ia putus dari penerima dana itu. Alasannya, supaya lebih luas menjangkau masyarakat. Sebab dirinya memang tidak berharap dapat gaji dari menjadi guru.

“Saya ngajar pun saya niatkan untuk berbagi dan menambah ilmu. Kalau untuk uang saya tidak mengharap dapat dari mengajar. Untuk menghidupi keluarga, saya bertani,” cetusnya. (Dompet Dhuafa / Muthohar)