Makmur, Balada Marbot Mantan Pemain Sepakbola

TANGERANG SELATAN — Cerita nestapanya nasib sepakbola Indonesia sudah sering kita dengar dibanyak media massa akhir-akhir ini. Permasalahan seperti gaji yang tak terbayar, kontrak pemain yang tak jelas, hingga adanya pengaturan skor pertandingan, mewarnai dinamika olahraga yang paling digemari masyarakat ini. Bahkan, organisasi sepakbola nasional kita sempat dibekukan oleh pemerintah dan juga FIFA.

Pun begitu halnya dengan Makmur Sarmada (39), mantan pemain rintisan Sekolah Sepakbola dan Klub Pelita Jaya Jakarta, merasakan betul manis dan getir perjalanannya dalam sepakbola. Sempat mengikuti seleksi Primavera PSSI tahun 1990an, Makmur, gagal terpilih di tim seleksi akhir pemilihan 23 pemain yang akan merasakan pelatihan di Italia.

“Waktu itu saya bersaing sama Kurniawan, Widodo, Bima Sakti. Tinggal seleksi terakhir, ehh malah gagal,” kenang Makmur, yang dahulu bermain sebagai posisi gelandang sayap ini.

Gagal di seleksi, Makmur berharap tuah kegagalannya tak berlanjut di klub untuk bertarung di kompetisi resmi PSSI. Sayang kenyataan tak berbanding lurus, hingga akhir karirnya ia tak mampu menembus tim utama Pelita Jaya. Ia harus puas dikenal sebagai pemain tarkam (Antar Kampung). Di kompetisi tarkam, siapa yang tak kenal Makmur. Namanya begitu aktif menerima panggilan untuk membela kampung yang mau membayar jasanya. Hingga tarifnya pun melambung melebihi pemain tarkam lain.

“Dulu saya dibayar 100.000 sekali main. Lumayan besar jumlah segitu di zaman dulu dibanding pemain cabutan lain. Karena mereka (pemberi jasa) tahu saya pernah main di klub, jadi mereka cukup menghargai,” ujar pria yang akrab dipanggil Cireng itu.   

Menjadi pemain tarkam merupakan keberuntungan sekaligus keberkahan bagi Makmur. Dari hasil jerih payahnya sebagai pemain di kompetisi amatir itu, Makmur bisa merintis usaha dealer motor bersama dengan temannya. Hingga ia bisa menikah dan memiliki dua anak, tak lepas dari hasil usaha yang telah dijalankan selama ini.

Sayang, keberuntungan sebagai pemain bola dan pengusaha motor tak berlangsung lama. Saat bertanding, Makmur mengalami cedera yang sangat parah ketika ia bertabrakan dengan pemain asing asal Benua Afrika yang menghantam kaki bagian kanannya. Perih dan rasa yang amat sakit ia rasakan hingga ia tak dapat melanjutkan pertandingan.

Setelah kejadian itu berbagai macam pengobatan ia jalani. Mulai dari pijat hingga pengobatan medis melalui operasi telah dilaksanakan. Hingga akhirnya ia divonis Dokter mengalami penyumbatan pembuluh darah dan harus diamputasi. Mendapat Berita itu bagaikan mendengar petir di siang bolong.

Bagaimana tidak, dengan diamputasinya kaki yang selama ini “bertugas” menjadi sumber mata pencaharian sekaligus penopang hidup dan usahanya. Hal itu menandakan akhir dari perjalanan karirnya di sepak bola selama sepuluh tahun terakhir. Makmur pun harus menerima kenyataan pahit bahwa ia harus kehilangan kaki kanannya.

Lima tahun berlalu pasca amputasi kaki kanan, semua telah berubah. Bagai roller coaster yang bergerak cepat ke atas dan ke bawah. Kehidupan Makmur berbalik arah 180 derajat. Ia harus merelakan berpisah dengan keluarga kecil yang begitu ia cintai, usaha rintisannya juga bangkrut. Ia juga kehilangan Rumah milik keluarga yang terpaksa dijual demi biaya operasi yang cukup besar, dan yang lebih membuat ia terpukul. Makmur tak dapat lagi bermain sepak bola seperti dulu.

Semua kejadian itu tak membuat Makmur kecil hati menerima keadaannya sekarang. Ia menyadari tanggung jawab sebagai ayah bagi kedua anaknya, harus terus ia perjuangkan. Kini, ia hanya tinggal di mushala sekaligus menjadi merbot di Mushala Baitur Rahmah. Musholla yang terletak di Jalan Raya Buaran Viktor, Buaran, Serpong, Tangerang Selatan, ini menjadi saksi kehidupan religius Makmur setelah sebelumnya sempat menumpang di rumah saudara.

“Yah sekarang saya sadar, saya hanya punya Allah yang setia dalam kondisi seperti ini,” tutur Makmur meratap.

Selain melakoni pekerjaan sebagai Merbot, Makmur juga mencari penghasilan lain dengan berprofesi sebagai tukang parkir di proyek perumahan tak jauh dari mushala tempat ia tinggal. Semua itu ia lakukan demi mencukupi kebutuhan dan nafkah bagi diri dan anak-anaknya.

Dalam lubuk hati Makmur, memendam keinginan untuk mempunyai usaha pulsa. Namun beberapa waktu lalu, handphone miliknya raib digondol orang tak bertanggung jawab saat dirinya tengah membersihkan kamar mandi.

“Mungkin ada yang lebih susah dari saya. Biarlah menjadi sedekah saya,” tutur Makmur.

LPM Dompet Dhuafa sebagai lembaga nirlaba yang fokus pada pemberdayaan masyarakat, berusaha menjawab kebutuhan Makmur agar dapat memiliki usaha pulsa demi menambah penghasilannya. LPM memberikan bantuan berupa telepon genggam, voucher pulsa, dan modal pulsa elektrik kepada Makmur, agar ia dapat mewujudkan keinginannya.

“Terima Kasih saya ucapkan buat semua Donatur yang budiman dan para staf Dompet Dhuafa. Insyaa Allah (bantuan) ini berguna banget buat saya. Semoga Allah membalas segala amal yang tercurah kepada saya,” ujar Makmur dengan penuh rasa syukur. (LPM Dompet Dhuafa/Rifky)