Menanti Air Bersih di Desa Bendung

Lantaran minimnya air bersih mayoritas warga Desa Bendung, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Banten masih melakukan aktivitas mandi cuci kakus (MCK) di sungai. (Foto: DD Banten)

Air adalah sumber kehidupan. Air juga sangat diperlukan dalam aspek sosial ekonomi dan untuk keberlangsungan ekosistem yang menyehatkan. Seiring dengan meningkatnya populasi manusia dan pembangunannya, penggunaan air tanah dan air permukaan untuk keperluan domestik, perkotaan, industri, dan pertanian juga semakin meningkat.

Permasalahan yang kemudian muncul adalah sulitnya penyediaan air bersih di beberapa daerah di Indonesia. Banten adalah satu satu potret provinsi di Indonesia yang angka kemiskinannya masih tergolong tinggi. Imbas dari hal tersebut adalah sulitnya mengakses air bersih untuk kehidupan masyarakatnya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah kemiskinan di Banten mencapai 5.71 persen atau 648.254 pada September 2012 (sumber Tempo).

Lokasi pemukiman yang jauh dari sumber mata air atau pencemaran air adalah beberapa masalah utama yang sering dihadapi belakangan ini. Lebih jauh, muncul masalah sanitasi masyarakat. Melihat kondisi ini, Dompet Dhuafa meluncurkan program Air untuk Kehidupan di Desa Bendung, Kecamatan Kasemen, Kota Serang.

Desa Bendung hanya terpisah 14 kilometer dari pusat Kota Serang,ibukota Provinsi Banten. Kondisi wilayah desa mayoritas berupa pesawahan irigasi dengan lokasi desa yang dikelilingi oleh persawahaan dan tidak jauh dari laut. Di atas irigasi yang membentang di pinggir dusun-dusun inilah masyarakat melakukan aktivitas vital mereka seperti mandi, mencuci, dan kakus. Bahkan, sebagian warga menggunakan sumber air tak sehat ini untuk memenuhi kebutuhan konsumsi air minum.

Bagi masyarakat Desa Bendung, air yang mengalir di irigasi desa mereka merupakan wujud vital bagi kebutuhan air bersih mereka. Pasalnya, sebagian besar masyarakat belum mampu mengakses air bersih menggunakan sumur bor selain rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya gaya hidup sehat. Alasan ekonomi selalu menjadi faktor utama ketidakmampuan ini. Apa boleh buat, dengan rata-rata penghasilan Rp 30 ribu per hari, para buruh tani yang merupakan mayoritas mata pencaharian di desa ini belum mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan hidup mereka, apalagi untuk membangun sumur bor.

Hasil pantauan tim Dompet Dhuafa Banten (DD Banten) saat mengunjungi Desa Bendung, dari 86 jumlah rumah yang ada, hanya 10 di antaranya yang memiliki kamar mandi sendiri. Sisanya melakukan aktivitas mandi cuci kakus (MCK) di sungai. Namun, kemudahan itu tak selamanya didapatkan masyarakat. Saat tidak ada jadwal pengairan, air pun tak akan mengaliri irigasi. Walhasil, aktivitas buang air besar (BAB) di pekarangan, sawah, atau di pinggir jalan dekat sawah bukan sesuatu yang aneh lagi bagi warga. Sementara untuk kebutuhan air minum, warga memanfaatkan air sungai yang diendapkan dengan tawas untuk penjernihan airnya untuk kemudian mereka konsumsi.

Abdul Wahab, warga setempat, menuturkan, kondisi air tanah di dusun ini tidak nyaman untuk kegiatan MCK. “Kalau untuk diminum pun rasanya nggak enak, karena air payau. Pernah juga kami mencoba bikin galian untuk mencari sumber air bersih, tapi di kedalaman 10 meter ketemunya malah air asin,” ujarnya kepada tim DD Banten.

Kondisi ini mengharuskan untuk kegiatan pengeboran dilakukan dengan kedalaman lebih dari 40 meter, karena pada kedalaman ini menurut seorang warga yang mampu mengaksesnya dapat menghasilkan air yang lebih segar.

Manajer Program DD banten, Mokhlas Pidono menjelaskan, program Air untuk Kehidupan akan melibatkan masyarakat setempat. “Kita akan bentuk komunitas pengelola program yang mewakili masyarakat untuk mengelola dan melakukan perawatan program ini,” ujarnya.

Mokhlas berharap, tokoh masyarakat setempat dan mitra Dompet Dhuafa akan membantu mengelola dan menggerakkan komunitas beserta warga untuk saling bergotong-royong menyukseskan pengadaan air bersih untuk warga Desa Bendung.

Dengan diadakannya program ini diharapkan dapat memperbaiki saluran pembuangan dan sanitasi dari tiap rumah dapat mengalir lancar menuju sungai dan tidak tergenang di satu tempat saja. “Proses pembangunannya diharapkan juga melibatkan seluruh warga desa agar mereka memiliki rasa simpati terhadap fasilitas ini karena telah turut serta menyumbangkan tenaganya untuk pembangunan lingkungan tempat tinggalnya,” imbuh Mokhlas.

Program ini telah mulai berjalan sejak awal Juli lalu. Aktivitas program diawali dengan sosialisasi kepada masyarakat, edukasi hidup sehat, serta ke depannya akan dibentuk komunitas pengelola dan pembangunan instalasi air bersih untuk masyarakat. (chogah/gie)