Mengedukasi Masyarakat Melalui Kurban

GARUT — Sore itu langit mendung menggantung di awan. Mentari samar dan pelan-pelan menyembunyikan diri di balik gunung. Secercah cahaya masih bersemburat, walau singkat. Di bawah kaki gunung itu terdapat sebuah masjid yang bersebelahan dengan Sekolah Menegah Pertama Negeri 2 Pasirwangi.

Di samping masjid tersebut terdapat halaman tempat orang-orang berkumpul. Satu domba yang sudah dikuliti digantung pada bilah bambu. Beberapa pria paruh baya tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang memisahkan daging dari tulang domba, memotong daging, menimbang daging hingga memasukannya ke kantong plastik putih. Seorang pria paruh baya tampak mengawasi teman-temannya itu. Teman-temannya mengikuti apa yang diminta oleh pria itu tanpa merasa beban.

Dialah Aceng Cahyana (32), Ketua Paguyuban Al-Awwaliyah di Kampung Babakan Pasirwangi, Kabupaten Garut. Paguyuban Al-Awwaliyah adalah perkumpulan para peternak yang dibina oleh Kampung Ternak Nusantara (KTN) sejak 2004. Aceng mulai bergabung dengan KTN pada 2004. Terkait beternak sendiri, Aceng belum pernah berkecimpung.

Ditemui sehari menjelang Idul Adha 1436 Hijriah di Kampung Babakan Pasirwangi, Aceng bercerita dulu ada program dari Dompet Dhuafa untuk memberdayakan masyarakat dari garis kemiskinan. Selama beberapa tahun dibina oleh KTN lalu dilepas dengan membuat paguyuban.

“Kalau di Dompet Dhuafa mah dananya dari zakat. Saat menerapkannya ke masyarakat ngga dilepas, tetapi didampingi terus. Hasilnya juga ngga ditarik ke pusat, melainkan dikelola lagi di daerah semacam koperasi. Jadi masyarakat merasakan ternak itu ya punya sendiri tapi ada tanggung jawab. Kalau benar-benar punya sendiri dijual, tapi kalau ini ada ikatan dengan lembaga, jadi ngga berani. Makanya kami terus kembangkan,” jelas Aceng.

Hadirnya KTN di Kabupaten Garut, diakui Aceng membuat masyarakat di sana sejahtera. Dulu masyarakat banyak yang beternak tetapi juga bertani sebagai pekerjaan sampingan. Setelah dibina oleh KTN, beternak menjadi pekerjaan pokok.

Keikutsertaan Aceng dengan KTN sudah sejak lama, saat dia berumur dua puluhan. “Saat itu mitra yang bergabung banyak orang tua. Saya dan teman-teman pun ditanya, ‘kenapa ikutan beternak? Mendingan kerja. Kan ada proyek’. Tapi saya ngga mau. Sekarang malah banyak yang pingin beternak,” kenangnya.

Saat sedang menimbang hewan kurban, Aceng mengatakan bahwa banyak orang yang ‘tertipu’ dengan fisik domba betina dengan jantan. “Besarnya sama, bobotnya beda. Suka ada yang komplen kenapa domba premium kecil. Padahal sebenarnya bobot yang dilihat”. “Ngga jauh beda standar dengan premium kalau dilihat dari tubuh. Tapi perbedaannya dari bobot. Bobotnya lebih berat, dagingnya lebih banyak. Salah satu keunggulan domba garut tubuhnya kecil tapi dagingnya padat. Kalau di sini banyak yang beli domba premium”.

Diakui oleh Aceng banyak warga yang awalnya tidak berkurban. Setelah masuk KTN jadi bisa berkurban. “Warga jadi terpancing. Contoh, ada yang heran hewan harga segini kenapa bisa jadi hewan kurban. Dulu, setahu saya,  yang menjadi syarat hewan kurban harus bertanduk bagus. Seperti itu kan harga hewan jadi mahal. Padahal syarat hewan kurban cuma tiga yaitu umur, gigi, dan ngga cacat,” jelas Aceng. Hasilnya masyarakat pun jadi teredukasi.

Ada juga satu kampung yang awalnya tidak kurban, sekarang jadi ada minat kurban, mereka membuat arisan. Setiap tahun untuk dibelikan satu kambing di paguyuban.

“Mereka satu ekor, dari kita satu ekor. Jadi cukup. Dengan seperti itu sebenarnya kuota saya jadi berkurang. Tadinya yang menerima, sekarang ngga. Memang kurban itu sunah, tapi bisa memberdayakan orang. Makanya, saya mencari kampung yang semua warganya belum mampu berkurban sebagai target pendistribusian,” jelas Aceng.

Bagi Aceng, beternak tidak hanya sebatas bisnis. “Kalau mau bisnis, diluar saja. Di sini kan yang utama keberkahan bagi sesama,” begitu semangat Aceng Cahyana bercerita tentang peternak yang mengutamakan kepentingan dhuafa. (Dompet Dhuafa/Erni)