PAREPARE, SULAWESI SELATAN — Pada Senin (31/1/2022) lalu, sebanyak 41 pendaftar sangat antusias ingin bergabung dalam kelas Aksara Lontara yang berada di Jl. Daeng Parani No 1, Parepare. Namun, karena keterbatasan kapasitas kelas demi efisiensi dalam proses pembelajarannya, sebanyak 16 peserta saja yang dipilih untuk mengikuti kelas budaya ini. Dan pada Rabu (2/2/2022), Dompet Dhuafa Parepare kemudian mengumumkan nama-nama peserta yang berhasil lolos. Mereka adalah Andi Abdul Malik, Irwandi, Jainuddin Has, Kiki Rezki Ananda, Nurhikma, Nurmaya Aulia, Pahri, Rahmatullah, Siti Suhaela, Syulistiani, Usmaida, Zainal SM, Syahrani Said, Khairunnisa, Sulfiani Samur dan Wahyudin.
Para peserta kelas Aksara Lontara ini merupakan anak-anak muda dengan latar belakang berbeda-beda. Namun kebanyakan adalah mahasiswa. Selama 3 (tiga) bulan, mereka akan belajar mengenai segala hal mengenai tulisan asli suku Bugis tersebut. Mulai dari sejarah, hingga hasilnya nanti diharapkan masing-masing peserta mampu membaca dan menulis aksara lontara dengan lancar, untuk kemudian diajarkan kembali ke orang-orang di sekitarnya.
Pekan berikutnya, pada Rabu (9/2/2022), perdana kelas Aksara Lontara dimulai. Seperti halnya pada awal mendaftar, para peserta begitu antusias mengikuti penjelasan dengan tema pembahasan “Aksara dalam Masyarakat Bugis”. Kelas perdana ini diselenggarakan di Kantor Dompet Dhuafa Unit Parepare dengan dibawakan oleh Andi Oddang, salah satu budayawan di Kota Parepare.
Dengan suasana santai namun mendalam, kelas dibuat dengan posisi duduk melingkar. Berbekal spidol, papan tulis, dan berbagi macam buku tentang Bugis, Pak Andi menjelaskan dengan sangat lugas tentang tradisi tulis-menulis pada masyarakat Bugis. Sebagai pengampu kelas, ia memperlihatkan beberapa naskah lontara yang berisi catatan-catatan seperti kelahiran, catatan raja-raja, tradisi suku Bugis dan banyak lagi. Sontak para peserta pun baru menyadari bahwa kata “Galigo” berati sastra dalam bahasa Bugis.
“Gambaran kehidupan masyarakat dalam bingkai suku bugis terekam dalam lontara, namun kemajuan zaman dan modereniasi membuat warisan budaya bugis mulai pudar keberadaannya. Pengetahuan yang tersimpan dalam teks aksara lontara meliputi nilai-nilai pedagogis, ekonomi, sosial politik, filosofi kehidupan dan masih banyak lagi,” terang Andi menjelaskan kepada peserta.
Pada salah satu penggalan pembahasannya tentang aksara lontara, Andi mengatakan bahwa nama Soppeng sudah tertulis pada karya sastra bugis tertua I La Galigo yang berbunyi “Iyannae Sure Puada Adaengngi Tanae Ri Soppeng, Nawalainna Sewo-Gattareng, Noni Mabbanua Tauwwe Ri Soppeng, Naiyya Tau Sewoe Iyanaro Ri Yaseng Tau Soppeng Riaja, Iyya Tau Gattarengnge Iyanaro Riaseng Tau Soppeng Rilau”
Beberapa petuah orang tua terdahulu juga terekam dalam naskah-naskah lontara kuno. “Rekko Mupakalebbi'i Tauwe, Alemutu Mupakalebbi”. Artinya “Jika kamu memuliakan orang lain, sama halnya kamu memuliakan dirimu sendiri”.
Pada kelas pekan ketiga, Rabu (23/2/2022), para peserta mulai dituntut untuk bisa baca dan tulis aksara lontara. Si samping itu juga para peserta sudah mulai sedikit-sedikit menerjemahkan bahasa bugis ke tulisan lontara. (Dompet Dhuafa / Muthohar)