Program Klaster Mandiri yang dilaksanakan oleh Dompet Dhuafa di lima wilayah, yaitu Kulonprogo, Lebak, Blora, Bantaeng dan Bogor telah berakhir. Kurang lebih tiga tahun program tersebut digulirkan. Cukup lama program berjalan namun terasa sangat singkat bagi mitra pemetik manfaat program.
Isu kemiskinan masyarakat kelas termarjinalkan (klaster) menjadi pekerjaan utama yang harus dicari solusinya. Pekerjaan berat namun menjadi tantangan tersendiri bagi Dompet Dhuafa, khususnya bagi para pendamping program di lapangan. Kemandirian komunitas menjadi impian akhir dari program ini. Terutama kemandirian dari aspek intelektual dan spiritual, aspek manajerial dan aspek finansial.
Selama tiga tahun program berjalan pekerjaan berat yaitu mengentaskan mitra dari jurang kemiskinan bisa dibilang belum sepenuhnya berhasil. Banyak faktor menjadi penyebab. Minimnya pembiayaan, karakter usaha mitra yang sulit berkembang, minimnya akses dan jaringan pemasaran, minimnya dukungan dan kontribusi berbagai pihak dan banyak lainnya.
Namun demikian, hal tersebut tidak berarti program gagal. Sebab, masalah kemiskinan telah menjadi permasalahan yang tak kunjung selesai di negeri ini. Butuh banyak sumberdana, sumberdaya, waktu dan peran serta kepedulian dari semua pihak.
Namun jika ditelisik lebih dalam, banyak hal positif yang bisa diambil dari program Klaster Mandiri. Di antaranya peran dan kontribusi pendamping dalam memberikan warna, menanamkan nilai dan membangun sistem bagi mitra dan masyarakat di wilayah dampingannya.
Sebutlah Widi Hartanto, pendamping klaster mandiri di Kulonprogo. Ia tidak hanya mengajarkan bagaimana membangun dan mengembangkan usaha, tetapi juga menanamkan jiwa kewirausahaan, nilai tanggungjawab dan keikhlasan kepada mitra. Hasilnya munculah para kader lokal menjalankan tugasnya sebagai pengurus koperasi tanpa digaji.
Atau seperti yang dilakukan Tomy Dwi Hendrawan, pendamping Klaster Mandiri Blora yang mengajarkan kepada mitra pentingnya membangun jaringan dengan dinas. Hasilnya Dinas Koperasi Blora telah memberikan pendampingan dan bantuan modal dan aset untuk pengembangan usaha keset kain perca. Demikian halnya yang dilakukan oleh Syefanil Fariton, pendamping Klaster Mandiri Lebak yang bisa menguatkan mental usaha mitra pembuat batu bata sehingga beberapa diantara mereka telah terbebas hutang dari dunungan (bos). Atau peran-peran pendamping lainnya di Bogor dan di Bantaeng yang tak kalah hebatnya.
Para pendamping tersebut mungkin belum sepenuhnya bisa mengentaskan mitra dari jurang kemiskinan. Namun mereka telah menanamkan nilai-nilai dan meletakkan pondasi sistem sebagai modal sosial bagi mitra. Bagaimana bisa mandiri dan tidak tergantung pada siapapun. Bagaimana menjalankan usaha dengan baik, bagaimana memiliki jiwa, mental dan semangat kewirausahaan. Bagaimana membangun jaringan dan akses pasar. Bagaimana mengelola administrasi dan keuangan lembaga dengan manajemen yang baik. Bagaimana berlaku jujur, tanggungjawab dan ikhlas. Bagaimana peduli dengan sesama. Hingga bagaimana mitra bisa menjalankan kewajibannya sebagai hamba, sebagai anggota keluarga dan sebagai sesama manusia.
Itulah nilai-nilai positif yang mereka tanamkan kepada mitra. Tidak semua mitra bisa menjalankan. Namun setidaknya nilai-nilai tersebut telah dijalankan oleh sebagian mitra sebagai modal bagi mereka untuk mandiri. Secara intelektual, spiritual, manajerial dan finansial.
Dari hal tersebut jelas bahwa tolok ukur kemandirian komunitas tidak hanya diukur dari miskin atau tidak miskin saat program berakhir. Namun lebih dari itu yaitu bagaimana mitra atau komunitas memiliki kemampuan untuk bisa menjalankan kegiatan usahanya, bisa mengelola lembaga lokalnya, bisa mengakses sumberdana, bisa membuka akses dan jaringan pasar serta menjalin hubungan dengan berbagai stakeholders secara mandiri. Bisa tetap eksis setelah ditinggalkan pendampingnya. Meskipun di akhir program mereka belum terlepas dari jurang kemiskinan. Namun setidaknya mereka memiliki peluang dan harapan manjadi lebih sejahtera dimasa depan dengaan tekad dan semangat kemandirian yang mereka dapatkan. (rudi/gie)