Menjadi Guru, Menggenggam Indonesia

Ahmad Lizamuddin Syukuri, relawan Sekolah Guru Indonesia (SGI) Dompet Dhuafa angkatan V. (Foto: SGI Dompet Dhuafa)

Bisa melanjutkan ke pendidikan hingga ke perguruan tinggi serta kesempatan mengenyam akademik ke Negeri Paman Sam adalah suatu nikmat yang sangat Ahmad Lizamuddin syukuri. Sebagai ungkapan rasa syukurnya, Lizam ingin melakukan sesuatu untuk Ibu Pertiwi. Mengabdi dalam bidang pendidikan, itulah pilihan sarjana S1  IAIN Walisongo, Jurusan Tadris Bahasa Inggris ini.

Lizam sempat mengikuti tes di beberapa program pengabdian ke wilayah terluar di Indonesia. Sayang, selalu gagal. Namun, Lizam tidak menyerah. Keinginannya untuk memberikan sesuatu yang bermakna dan nyata kepada sekitar sebelum benar-benar mencapai kemapanan nanti selalu menjadi bara yang berkobar dalam hatinya.

Kesempatan itu akhirnya datang pada 2013, setahun setelah kelulusannya. Lizam lolos dalam serangkaian tes untuk bergabung dengan Sekolah Guru Indonesia (SGI) angkatan V yang diadakan oleh Dompet Dhuafa. Selama setahun, Lizam ditempatkan di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Baginya mendidik seperti menerangi kegelapan. “Dengan mendidik, saya ikut menyalakan lilin untuk mengusir kegelapan kebodohan anak-anak, yaitu kegelapan dari masa depan mereka dan perilaku-perilaku buruk”, jelasnya melalui pesan singkat.

Setahun setelah mengabdi, Lizam bergabung dengan Universitas Islam Sultan Agung, Semarang untuk mengajar Bahasa Inggris. Saat ini Lizam menjadi coordinator of educational program Dompet Dhuafa.

Dompet Dhuafa melakukan kontribusi untuk membantu pengungsi Rohingya di bidang pendidikan di Aceh. Lizam ditempatkan di Langsa. Di sana pelajaran difokuskan untuk anak-anak usia 7-12 tahun. Adapun mata pelajaran yang diajarkan meliputi Bahasa Inggris, Matematika, Kesenian dan Kerajinan Tangan (life skill).

Sedangkan di Bayeun khusus remaja dan wanita dengan mata pelajaran meliputi Bahasa Inggris, life skill, dan promosi kesehatan. Tenaga pengajar ditangani oleh relawan yang sudah direkrut dan dilatih oleh tim Disaster Management Centre (DMC) Dompet Dhuafa.

Mengajarkan sesuatu kepada orang dengan latar belakang bahasa yang berbeda menjadi hambatan sendiri di School For Refugees ini. Namun, pesan pengajaran tetap bisa diterima. Para peserta pun terlihat antusias. “Tentu respon mereka sangat bahagia dan senang belajar bersama para guru relawan school for refugees Dompet Dhuafa”, terang pria asal Demak, Jawa Tengah ini.

Bagi Lizam, kemerdekaan mempunyai arti tersendiri. “Bagi saya merdeka itu, ketika semua warga negara indonesia khususnya usia school age mendapatkan hak mereka untuk menikmati pendidikan yang layak”. Oleh karena itu Lizam berpesan di hari kemerdekaan ini untuk semakin berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing untuk membangun negeri ini.

“Saya memulainya dari pendidikan. Bagi saya pendidikan adalah sebagai salah satu cara untuk mewujudkan suatu educated and civilized human being atau masyarakat yang terdidik dan berada”, tutup pria yang mempunyai moto life offers choices. So, choose the best, do the best. Then let god do the rest ini. (Erni)

 

Editor: Uyang

“22 tahun Dompet Dhuafa Tumbuh Bersama, mari bergandeng tangan wujudkan kemandirian”