Merapi Menanti Empati, Rekam Jejak KTB di Desa Kaliurang

MAGELANG, JAWA TENGAH — Gunung Api Merapi yang terletak di Kabupaten dan Kota Sleman, Magelang, Boyolali, Klaten, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah masih berada dalam level III (siaga). Berdasarkan pantauan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pada Jumat (21/10/2022), telah terjadi 10 (sepuluh) kali gempa guguran dengan amplitudo 3-5 mm dan lama gempa 24.6-142.2 detik, 4 (empat) kali gempa hembusan dengan amplitudo 3 mm dan lama gempa 18.8-22.2 detik, 1 (satu) kali gempa Hybrid/Fase Banyak dengan amplitudo 7 mm, S-P 0.8 detik dan lama gempa 9.9 detik, dan 10 (sepuluh) kali gempa Vulkanik Dalam dengan amplitudo 3-12 mm, S-P 0.6-1 detik dan lama gempa 6.8-11.6 detik. Selain itu Gunung Api Merapi terpantau tertutup Kabut 0-II hingga tertutup Kabut 0-III. Sedangkan Asap kawah tidak teramati.

Santoso salah satu warga Desa Kaliurang, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, pada Jumat (21/10/2022), menuturkan pengalamannya saat menghadapi erupsi Gunung Api Merapi.

“Wilayah kami berada di kawasan rawan bencana (KRB) III. Wilayahnya sudah dekat dengan puncak Merapi. Pada erupsi tahun 2010 itu, semua luluh lantah karena terkena erupsi merapi. Erupsi merapi yang begitu besar dan dilanjutkan ada aliran lahar dingin. Jadi tempat kami itu memang benar-benar sangat rawan ketika erupsi merapi. Dan diikuti dengan musim penghujan itu pasti ada lahar dingin,” jelasnya.

Menurutnya tahun 2010 merupakan titik genting baginya. Saat erupsi terjadi situasi dan kondisi sudah sangat mencekam. “Jadi tentunya, dari tahun 2010 melihat situasi dan kondisi yang mencekam. Akhirnya, tahun-tahun berikutnya kita lebih menyadarkan ke masyarakat untuk lebih memahami tentang pengurangan risiko bencana penanggulangan bencana erupsi,” pungkasnya.

Namun, melalui erupsi pada tahun 2010 tersebut menghantarkan beliau bertemu dengan Disaster Management Center (DMC) Dompet Dhuafa. Saat itu, DMC Dompet Dhuafa melakukan giat Emergency Response terhadap para penyintas terdampak erupsi Gunung Api Merapi. Hal ini mendorong Santoso dan kawan-kawannya mengajukan kerja sama dengan DMC Dompet Dhuafa.

“Di tahun 2016 mulai ada program-program risiko bencana. Jadi bersama DMC Dompet Dhuafa kita buat tanda bahaya bencana, adakan pelatihan siap siaga, hingga mengenalkan Sekolah Pendidikan Aman Bencana (SPAB) di SDN Kaliurang 1, Dusun Jrakah dan SDN Kaliurang 2, Dusun Kaliurang Selatan, supaya anak-anak dan guru sudah mengetahui kemana kita harus evakuasi ketika terjadi erupsi,” akunya.

Kerja sama yang terjalin dilanjutkan lagi pada tahun 2018 sampai tahun 2021. Mulai dari pembuatan Pos Hangat yang fungsinya untuk jadi pos pantau warga setempat.

“Ketika warga masyarakat berjaga untuk memantau peningkatan di Gunung Api Merapi dan dilanjutkan sampai 2021 itu kita mengajukan program untuk Kawasan Tanggap Bencana,” tambahnya.

Santoso yang merupakan perwakilan dari Komunitas Jajaran Pawira Magelang Jawa Tengah merupakan relawan dan sekaligus mitra DMC Dompet Dhuafa. Bersama warga setempat DMC Dompet Dhuafa telah melakukan pembuatan Peta Jalur Evakuasi, SPAB, instalasi pos pantau yang dikemas Pos Hangat, pemetaan wilayah rawan bencana, dan identifikasi transek-plotting.

Melalui KTB, DMC Dompet Dhuafa berharap meningkatkan kapasitas dan menambah kesadaran masyarakat untuk tangguh menghadapi bencana. Masyarakat merupakan aktor kunci dan pihak pertama dalam penanggulangan bencana. DMC Dompet Dhuafa hanya berperan sebatas penengah dan pengantar antara penerima manfaat dengan donatur-donatur kebaikan Dompet Dhuafa.

“Kolaborasi, program ini berawal dari inisiatif masyarakat sendiri, Dompet Dhuafa berinisiatif untuk memfasilitasi solusi inovatif ini melalui kerjasama dengan mitra lainnya,” terang Haryo Mojopahit selaku Chief Executive DMC Dompet Dhuafa.

Proses pembentukan Kawasan Tanggap Bencana tidak terlepas dari peran aktor kunci yang menjadi garda terdepan dalam pengembangan komunitas mereka sendiri. Sosok inilah yang menjadi faktor utama keberhasilan dalam pengimplementasian program kunci keberlanjutan serta pengembangan wilayah intervensi.

Selain itu, saat erupsi Gunung Merapi di tahun 2010, beberapa wilayah terisolir akibat erupsi. Sehingga pada tahun 2010 menjadi momentum untuk warga agar mengadirkan program mitigasi kebencanaan yang bernama Sister Village atau Desa Bersaudara.

Desa Bersaudara merupakan desa yang dialokasikan menjadi tempat evakuasi sekaligus titik posko pengungsian yang terdiri berbagai layanan respons tanggap darurat ketika terjadi bencana. Mulai dari Dapur Umum, Logistik, Kesehatan dan layanan tanggap darurat lainnya. Saat ini Kaliurang sudah menyiapkan tiga titik Desa Bersaudara yang di mana semua itu dikelola secara swadaya oleh warga sekitar.

“Kita selalu sosialisasikan kepada masyarakat untuk mandiri artinya ketika mengungsi kita tidak mengandalkan dari pemerintah, tetapi kita setiap warga masyarakat itu diwajibkan setiap Sabtu dan Minggu melakukan iuran Rp2000. Akumulasinya dari 125 KK itu dalam satu minggu sudah mendapatkan kurang lebihnya Rp250 ribu. Jika satu bulan berarti sudah hampir Rp1 juta. Dana ini kita alokasikan untuk saudara kita ketika terkena bencana,” aku Santoso.

Dalam waktu dekat dengan dukungan masyarakat, Desa Kaliurang dan DMC Dompet Dhuafa akan memaksimalkan kembali KTB dalam penanggulangan bencana erupsi Gunung Api Merapi. Namun untuk melakukan itu dukungan dan bantuan masyarakat sangat dibutuhkan.

“Dengan dukungan dan bantuan masyarakat, kami berharap mampu memberikan perangkat Early Warning System (EWS) lalu SPAB dengan konsep berbasis tempat ibadah aman bencana. Kemudian support instalasi dan melegalkan radio komunitas antar penduduk. Selain itu juga optimalisasi Sister Village yang telah dikelola langsung secara mandiri oleh masyarakat Desa Kaliurang,” ujar Haryo. (Dompet Dhuafa / DMC)