Nelayan di Batas Negeri

Hari mulai beranjak sore, namun cuaca masih terasa panas menyengat.  Kondisi seperti ini menjadi  penghalang  nelayan di Desa Papela  untuk memulai aktivitasnya.  Rata-rata masyarakat Papela yang berprofesi sebagai nelayan pancing memulai aktivitas selepas sholat ashar. Salah satunya adalah Husein, salah satu mitra program Klaster Mandiri Rote Ndao, NTT.

“Saya berangkat  masang pancing selepas sholat asar lalu pulang, nanti selepas magrib baru diambil (ikannya). Ini juga belum sholat  Isya mas”, tukas Husein saat ditemui di dermaga.

Tidak banyak yang bisa dilakukan dengan cuaca belum sepenuhnya bersahabat. Musim angin istilah mereka masih belum mereda. Kondisi ini membuat nelayan tidak bisa mencari ikan sampai ketengah, sehingga hasil tangkapannyapun minim.

Sehari-hari Husein pergi memancing dengan menggunakan sampan ukuran kecil. Menerobos pekatnya malam ia hanya mengandalkan senter kepala dengan jarak pandang yang terbatas. Ia harus berhati-hati supaya tidak menabrak karang yang terendam air. Batu karang tersebut akan terlihat ketika air sedang surut.

Hasil memancing hari itu  mungkin tidak sebanding dengan resiko yang harus ia hadapi. Tapi tekad untuk menafkahi  keluarga yang membuatnya pantang putus asa.

“Hasil hari ini lumayan lah mas, ikan-ikan kecil. Karena mancingnya nggak sampai ke tengah,” paparnya dengan logat khas Indonesia Timur.

“Kalo ke tengah banyak ikan yang besar-besar dan hasilnya lebih banyak,” lanjut bapak satu anak ini.

“Hari ini alhamdulillah dapat ikan tembang, ikan alu-alu. Nanti ini dijual kesekitar sini, kadang ada pengepul yang menampung. Seperti yang berjualan di pingir jalan dekat sekretariat ISM “ lanjutnya.

 “Kalo segini (setengah ember) dihargai sekitar 50 ribu, Cukuplah. Kita harus bersyukur berapapun rezeki  yang kita dapat,” tambahnya.

Husein sebenarnya adalah sosok yang cerdas, bahkan ia sempat menjadi pengajar honorer di sebuah sekolah, namun karena dirasa hasilnya kurang memuaskan ia memilih untuk melaut. Dengan hasil melaut ia mampu memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan anaknya.

Permasalahan nelayan di Indonesia sama yaitu bergantung pada cuaca. Ketika cuaca baik maka hasil tangkapan lumayan, namun jika sedang musim buruk (musim angin) mereka harus libur melaut. Hal tersebut yang membuat kondisi ekonomi nelayan di negeri ini  cenderung kekurangan. Kenaikan harga BBM serasa menambah beban bagi nelayan apalagi nelayan di Indonesia Timur.

“Harga BBM disini mencapai 12 ribu perliter” ungkap Randi, pendamping program.

Naiknya harga BBM tidak di barengi peningkatan harga ikan yang signifikan membuat nelayan harus mampu mengatur pendapatannya. Rata-rata pendapatan nelayan dalam sehari akan di bagi menjadi beberapa bagian, antara lain untuk membeli bahan bakar, membeli umpan dan memenuhi kebutuhan harian.

Ditambah kondisi desa Papela yang sering kekeringan sehingga pengeluaran nelayan akan ditambah dengan biaya pembelian air bersih. Harga air bersih satu drum 8.500 rupiah, itupun harus menunggu giliran.

Memprihatinkan memang, namun tidak bisa hanya sekedar prihatin dan berpangku tangan. Perlu upaya nyata dalam peningkatan ekonomi nelayan. Pemberdayaan menjadi salah satu model yang diterapkan oleh Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa untuk meningkatkan ekonomi nelayan.

Pemberdayaan lebih mengedepankan peningkatan ekonomi keluarga seperti penguatan usaha bagi istri nelayan. Penguatan usaha ini diharapkan mampu menopang ekonomi keluarga ketika terjadi musim angin. (Slamet)

 

Editor: Uyang