Ojek Online Menjadi Lapangan Kerja Para Pengangguran

SIARAN PERS, TANGERANG SELATAN — Melanjutkan riset tentang isu permasalahan lapangan kerja di perkotaan, Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada Februari 2020 melakukan survei non-probabilitas dengan teknik purposive sampling terhadap 542 pengemudi ojek daring/online di Jabodetabek. Hal tersebut guna memahami karakter dari penciptaan lapangan kerja perkotaan khususnya pada sektor digital.

Hasil riset tersebut kemudian dipaparkan pada soft launching IDEASTalk di Kantor IDEAS, Tangerang Selatan, Selasa (17/3/2020).

Meski tidak data resmi dari perusahaan aplikator, IDEAS mendapati jumlah pengemudi ojek daring kini diperkirakan mencapai 2,5 juta orang, 1,25 juta orang diantaranya berlokasi di Jabodetabek. Jika estimasi ini benar, penyerapan tenaga kerja oleh ojek daring ini setara dengan 37 persen pengangguran Jabodetabek.

Siti Nur Rosifah, Peneliti IDEAS mengungkapkan, temuan lapangan menunjukan bahwa ojek daring adalah jaring pengaman yang efektif bagi pengangguran kota. Sebesar 41,0 persen responden menjadikan menganggur sebagai alasan utama menjadi ojek daring, yaitu mengalami pemutusan hubungan kerja, terlalu lama menganggur, dan sulit mencari pekerjaan lain selain ojek daring.

IDEAS kemudian menyoroti hubungan antara perusahaan penyedia layanan dengan pengemudi ojek daring. Hasilnya, meski pengemudi ojek daring diklaim memiliki otonomi dan independensi dalam menentukan jenis pekerjaan, waktu kerja, hingga jumlah pendapatan yang diinginkannya. Namun dalam kenyataannya, perusahaan transportasi daring lah yang mengendalikan para mitranya, yaitu pada jenis dan jumlah layanan yang mereka kerjakan, ke mana tempat yang harus mereka tuju, hingga jumlah pendapatan yang akan mereka terima.

“Jumlah minimum penerimaan pesanan, kombinasi tarif per kilometer yang rendah dan sistem bonus, serta adopsi sistem rating dari penumpang, telah memaksa pengemudi ojek daring untuk terus bekerja dengan usaha yang semakin keras untuk mendapat penghasilan yang memadai. Sistem penalti atas pembatalan order, mulai dari skorsing (suspend) hingga pemutusan sebagai mitra, memaksa pengemudi ojek daring untuk selalu menerima setiap order yang datang: mereka harus siap setiap saat untuk pergi bekerja,” ujar Nur Rosifah.

Dalam riset ini, IDEAS menemukan fakta yang mengejutkan: ojek daring memiliki waktu kerja yang sangat panjang, jauh melebihi batas waktu kerja yang wajar. Sebagian besar responden, yaitu 77,4 persen, mengaku bekerja lebih dari 8 jam per hari. Bahkan 28,3 persen responden mengaku bekerja lebih 12 jam per hari.
 
“Untuk mendapatkan penghasilan yang layak, pengemudi ojek daring dipaksa untuk bekerja lebih lama. Meski telah bekerja jauh lebih keras, hanya 40,6 persen pengemudi ojek daring yang diestimasikan mampu memiliki penghasilan di atas rata-rata UMP Jakarta, Banten, dan Jawa Barat (2020) yang berada di kisaran Rp 3 juta per bulan," tuturnya.
 
Di sisi lain, pengemudi ojek daring tidak dilindungi dengan jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja. Kerentanan pengemudi ojek daring dari guncangan eksternal diperkuat oleh temuan bahwa hampir setengah responden, yaitu 46,1 persen, memiliki utang. Menariknya, sebagian besar responden mengaku utangnya digunakan untuk membeli atau cicilan motor. (Dompet Dhuafa/Muthohar)