Pedagang Kaki Lima (PKL)

“kebijaksanaan membuat mereka beradaptasi dengan lingkungan,
seperti air mengikuti bentuk tempatnya.” (anonymous)

Masuknya tahun baru masehi 2013 kembali menyisakan berita yang menyeesakkan dada, dari mulai anak pejabat yang mobilnya seruduk mobil didepannya, dua korban meninggal dan lainnya luka-luka, gunungan sampah pasca pesta pora tahun baru, meninggal di tawuran konser musik rakyat akhir tahun, sampai berita pengggusuran PKL di beberapa lokasi.

Bicara PKL memang menjadi bagian dari problematika pemerintah kota selama ini selain sampah, banjir dan kemacetan. Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak, lalu orang-orang menafsirkan 2 kaki pedagang ditambah 3 kaki roda gerobak–rata-rata roda gerobak–menjadikannya 5 kaki. Bahkan istilah ini sudah muncul sejak jaman kolonial Belanda, menyebutnya Pedagang Lima Kaki, namun dalam perkembangannya orang lebih suka menyebut Pedagang Kaki Lima atau PKL.

Saat ini istilah PKL juga digunakan untuk pedagang yang buka kios non-permanen (lapak) di beberapa lokasi public seperti trotoar.
Keberadaan PKL ini memang pro dan kontra. Di satu sisi, kita sering terbantu dengan keberadaan PKL, jajanan murah, produk sehari-hari, bahkan produk yang susah dapat di mal seringkali kita dapat di lapak-lapak PKL. Kelas menengah-bawah sangat bergantung pada komoditas yang dijajakan oleh PKL ini.

Di sisi lain keberadaan mereka menimbulkan kesemrawutan, jualan di sembarang tempat, menyisakan sampah, menimbulkan kerumunan yang mengganggu arus lalu lintas, hingga merampas hak pejalan kaki karena kebanyakan mereka jualan di trotoar. Bahkan, saat ini sudah banyak warga perumahan yang resah karena menjamurnya PKL Sabtu-Minggu di taman-taman dan ruas jalan komplek perumahan. Akhirnya, timbullah penggusuran di sana-sini yang efeknya tidak lebih baik, demonstrasi, dan perlawanan kerap menimbulkan korban fisik maupun psikologis.

Perlu solusi kreatif dan visioner untuk menuntaskan masalah PKL ini. Mereka nyawa dari usaha mikro, mereka tidak merengek bantuan modal dari pemerintah atau perbankan, diintimidasi preman, tetap bayar uang retribusi yang entah masuk kantong siapa, tapi tetap survive, ulet berjuang untuk hidupi keluarga. PKL adalah pengusaha tangguh yang harus diperhatikan, dihargai dan dimanusiakan.

Pertama ganti istilah PKL menjadi Pedagang Kreatif Lapangan agar timbul kebanggaan buat mereka sebagai pebisnis mandiri. Kedua, pemerintah lokal harus ciptakan klaster-klaster PKL di beberapa titik guna memberi kenyamanan berdagang dalam jangka waktu yang terukur. Selain itu, juga tercipta wisata rakyat yang lebih rapi, nyaman sehingga bisa menambah retribusi daerah dari dinamika klaster tersebut.

Ketiga, dorong mereka membentuk asosiasi PKL agar lebih memiliki bargaining position terhadap preman, pemerintah, perbankan, swasta dan asosiasi lainnya. Keempat, dukung dan fasilitasi akses permodalan, peningkatan skill berwirausaha, pengembangan wawasan entrepreneurship dan training lainya, sehingga ke depannya diharapkan bisa menjadi wirausaha sejati yang bisa menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak perekonomian lokal bahkan nasional

Terakhir, para pegiat ekonomi rakyat dan organisasi lainnya, sebaiknya juga menciptakan program terhadap PKL ini. Mereka komunitas yang patut diangkat harkat dan derajatnya. Redam demo PKL dengan karya nyata program yang solutif dan jangka panjang untuk mendukung program pemerintah lokal menciptakan lingkungan yang tertib dan teratur. trq