Peduli Lingkungan (Bumi), Peduli Kesejahteraan

Sungguh mencengangkan bila merujuk data Kementerian Kehutanan RI pada tahun 2010 mengenai luas hutan Indonesia. Berdasarkan data tersebut, dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, sebanyak 21 persen gundul. Dengan kata lain, sekitar 26 juta hektar hutan di Indonesia telah musnah.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2007 bahkan merilis dalam State of the World’s Forests, bahwa sebesar 1,8 juta hektar/tahun di Indonesia hilang akibat penebangan selama 2000-2005. Kondisi tersebut bisa jadi telah mencapai angka 2 juta hektar/tahun pada 5 tahun terakhir ini.

Menyadari hal tersebut, kepedulian terhadap isu lingkungan menjadi sebuah keharusan. Bagaimana tidak, lingkungan hingga saat ini masih menjadi sumber daya utama penghidupan manusia. Kerusakan lingkungan niscaya berdampak pada dinamika kehidupan manusia.

Kerusakan lingkungan sejatinya berkaitan erat dengan bertambahnya potensi kemiskinan. Pasalnya,  kerusakan lingkungan berdampak pada potensi bencana yang besar. Sudah sering kita dengar bahwa seorang anak harus hidup sendirian tanpa orang tua yang menafkahinya lantaran meninggal tertimpa bencana alam. Tidak sedikit pula orang kehilangan seluruh harta berharga seperti rumah dan aset usaha akibat bencana seperti longsor dan banjir. Kemiskinan baru pun lahir.

Kerusakan lingkungan juga berimbas pada keterbatasan akses air bersih. Keterbatasan akses air bersih tentu akan berdampak pada kesehatan lantaran air adalah elemen paling penting dalam kehidupan manusia. Lebih jauh, kekurangan air bersih akan mengakibatkan risiko kesehatan yang berbahaya.

Keterbatasan air bersih juga membuat manusia abai terhadap kebersihan sanitasi. Imbasnya, mereka jarang membersihkan badan. Tidak hanya itu, rumah mereka pun tidak dilengkapi dengan toilet yang memiliki ketersediaan air untuk membuang hajat. Mereka pun menjadi rentan terhadap penyakit.

Jika kualitas kesehatan manusia menurun, maka dipastikan produktivitas kerja mereka akan turut menurun. Jika produktivitas kerja menurun, maka kondisi ekonomi keluarga akan memburuk dan ujung-ujungnya angka kemiskinan akan kembali naik.

Dalam memandang isu lingkungan memang tidak sederhana. Seperti yang dijabarkan sebelumnya, rusaknya lingkungan akan berdampak ganda terhadap segala hal. Dengan demikian, dalam upaya pelestarian lingkungan pun tidak bisa dilakukan secara sederhana atau asal jadi. Contoh nyata adalah kegiatan menanam pohon. Program menanam pohon tidak boleh sekedar menanam tanpa diikuti program pemeliharaan.

Program pelestarian lingkungan tidak bisa sepenuhnya berbasis lingkungan melainkan beririsan dengan sosial. Intinya adalah bagaimana dengan melestarikan lingkungan dapat mengurangi dan bahkan meniadakan ke-dhuafa-an masyarakat. Beranjak dari pemikiran tersebut maka sudah selayaknya kita menempatkan isu lingkungan bukan lagi sebagai second issue dalam upaya pemberdayaan dhuafa untuk perbaikan kualitas hidup. Pasalnya, isu besar umat manusia di masa depan adalah adaptasi perubahan iklim dan energi yang bagaimanapun berpangkal pada lingkungan.

Efek dari pemanasan global yang sedang kita rasakan hingga saat ini merupakan pengingat kita untuk terus memberikan perhatian lebih terhadap lingkungan. Untuk beberapa dekade mendatang, para pakar memprediksi hasil tanaman pangan mulai dari jagung hingga gandum, beras hingga kapas, akan menurun hingga 30 persen. Hal ini jelas berimbas pada peningkatan harga pangan. Selain itu, siklus yang tidak sehat, rusaknya infrastruktur, dan bencana alam hidrologi seperti badai dan cuaca ekstrem adalah dampak lain dari pemanasan global.

Isu lingkungan, kerusakan, dan potensi yang tersirat di dalamnya sangat beririsan dengan isu kemiskinan. Jika kita mengelola lingkungan dengan benar berarti kita memiiki potensi lain untuk mengelola kemiskinan. Namun, jika kita membiarkan lingkungan berarti kita dengan sengaja membuka ruang-ruang potensi kemiskinan baru di masyarakat. (gie)