Perjuangan Hidup Mbah Kasmi, Sang Maestro Kain Gedog dari Tuban

Mbah Kasmi, salah satu penerima manfaat Program Klaster Mandiri Dompet Dhuafa di Tuban. (Foto: Dokumentasi Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa)

Dalam kesehariannya, perempuan lanjut usia ini berpenampilan sederhana, layaknya khas perempuan Jawa dengan mengenakan kebaya dan kain jarik. Namun, dibalik kesederhanaannya tersebut, banyak yang tak menyangka bahwa Kasmi (56), perempuan yang tinggal di Desa Gaji, Kecamatan Kerek, Tuban, Jawa Timur ini merupakan salah satu perempuan yang ahli dalam membuat kain gedog.

Gedog, merupakan kain khas Tuban yang belum banyak dikenal orang. Kain gedog mempunyai arti dan sejarah tersediri bagi orang Tuban. Sentra pembuatan kain gedog salah satunya adalah di kecamatan Kerek yang berjarak 25 KM dari pusat kota Tuban.

Tidak semua orang bisa membuat kain gedog, selain diperlukan keahlian khusus, proses pembuatannyapun memakan waktu yang cukup lama. Di kecamatan Kerek hanya ada beberapa orang saja yang bisa membuat kain gedog, salah satunya adalah Mbah Kasmi.

Meski berusia lanjut, Mbah Kasmi demikiaan sapaan akrabnya sehari-hari ini pantang menyerah dalam menjalani hidup. Selain membuat kain gedog, untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari ia juga sering diminta tetangganya untuk membantu di ladang.

Yen ten tegil nggih upahe mboten kathah sing penting cekap kangge tumbas beras (Kalo kerja di ladang upahnya nggak banyak, yang penting cukup untuk beli beras)” ujarnya berbahasa Jawa kromo inggil.

Kesahajaan dan keluasan ilmunya yang membedakannya dari yang lain. Ia juga tidak sungkan membagi ilmunya kepada siapapun yang mau belajar. Keamahannya terlihat dari tuturkata dalam menyambut tamu yang berkunjung kerumahnya.

Bagi Mbah Kasmi yang tinggal seorang diri ini menuturkan, keahliannya dalam membuat kain gedog, merupakan sebuah karunia. Sudah puluhan kain gedog yang ia hasilkan dari tangan cekatannya. Proses yang lama tidak membuatnya putus asa dan berpindah profesi.

“Membuat kain gedog dari memintal kapas sampai jadi kain gedog itu butuh waktu 1 minggu paling cepat ” jelasnya.

Pemahaman dalam dunia produksi kain gedog membuatnya mampu menjelaskan proses pembuatan kain gedog dengan fasih sambil praktek dengan peralatan sederhana yang ada dirumahnya tanpa harus melihat catatan.

Mbah Kasmi menjelaskan, dalam membuat kain gedog proses pertama yang harus dijalani yakni memintal kapas (nguter) yang biasanya membutuhkan waktu seharian. Dari proses nguter tersebut terbentuklah benang kapas (lawe), selanjutnya memasuki proses direbus (ublug)

“Kalo mau di kasih warna baiknya dilakukan saat proses ublug supaya hasilnya maksimal,” jelasnya sambil menata benang hasil nguter.

Dengan sabar Mbah Kasmi merapihkan benang-benang tersebut agar tidak kusut. Setelah proses ublug selesai, kemudian benang-benang tersebut di ulur dengan alat yang terbuat dari kayu dan bilah bambu.

“Supaya benangnya terpisah dengan sempurna sehingga waktu di tenun lebih mudah” jelasnya Mbah Kasmi.

Mbah Kasmi menjelaskan, sebelum di tenun kain benang harus diatur sesuai motif warna kain yang akan dibuat. Bila sudah siap baru di tenun, ini alatnyaalat tenun yang terbuat dari kayu.

“Orang menyebutnya gedog, karena kalo lagi nenun bunyinya dok..dok…dok. Itu juga yang membuat kainnya disebut kain gedog,” paparnya.

Demikianlah sekelumit kisah Mbah Kasmi, salah satu penerima manfaat Program Klaster Mandiri yang digulirkan oleh Dompet Dhuafa. Kekurangannya tidak menjadikan ia mengharapkan belas kasihan orang lain. Ia berusaha mencukupi kebutuhan hidup dg jerih payah sendiri. Sekarang ia sudah mampu membuat kain sendiri. Ia mendapatkan penghasilan 2 kali lipat dari yang upah yang ia dapatkan dari ‘ngeburuh’ kain gedog.ia bisa menjual kain gedog buatannya sendiri degan harga mulai Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu bergantung pada ukuran dan warna kain.

Dari segi pemasaran juga dibantu oleh Griyo Batik, yang merupakan unit usaha ISM Al Hidayah yang di bentuk secara swadaya oleh mitra program. Para pemesan banyak yang puas dengan kain karyanya. Keterbatasan ekonomi membuat keahliannya ‘terabaikan’. Keahliannya dimanfaatkan oleh orang lain dengan upah yang sangat minim. Upah untuk membuat satu kain berukuran 3 meter sebesar Rp 70 ribu. Itu tidak sebanding dengan kerumitan dan waktu pembuatannya. Padahal kalo sudah masuk ke pasar harga bisa mencapai Rp. 800 ribu. Bahkan salah satu Mall di Jakarta harganya mencapai Rp 1 juta/potong. (slamet/uyang)