Potret Guru PAUD di Daerah Pelosok

Mati segan hidup pun enggan. Mungkin pribahasa itu yang dapat mewakili perasaan saya.Dengan segala keterbatasan yang ada, PAUD Al-Ikhlas di Desa Bantarwangi Kampung Dahu, Banten masih tetap menjalankan kegiatan belajar mengajar. Seakan, mereka tak peduli dengan keadaan yang serba kurang.

Sebuah pernyataan getir keluar dari bibir perempuan muda beranak satu. Panggil saja Ibu Rasti. Guru yang sudah memakan asam garam sebagai guru honorer di SDN Bantarwaru lebih dari 5 tahun. Perlahan, ia mengemukakan pernyataannya dengan lugas. Siapapun yang mendengarnya maka hatinya seperti diiris sembilu.

“Meski menumpang di kantor desa, masih beruntung PAUD kita memiliki bangunan yang luas. Dibandingkan dengan PAUD lainnya yang menjadikan rumah sebagai tempat belajarnya,” seloroh Rasti tanpa beban.

Kepala saya dipenuhi dengan pertanyaan. Berjejalan. Bagaimana Kemudian menjalar pada keterkaitan pemerintah setempat pada pendidikan anak usia dini. Yang secara kasat mata belum mengapresiasi keberadaan PAUD Al-Ikhlas dalam dua tahun ini.

“Gajinya nggak seberapa. Tiap guru hanya mendapat 64 ribu sebulan. Itupun kadang tidak penuh. Karena, orang tua murid tidak semua membayar uang yang dibebankan tiap harinya. Saya memaklumi dengan keadaan ekonomi mereka. Makanya uang yang dikenakan hanya seribu Rupiah. Tapi saya dan teman-teman bahagia bisa menjadi bagian dari keberhasilan anak-anak dalam mengentaskan pendidikan anak usia dini di sini,” tegas Ibu Rasti sambil senyum simpul.

Dewasa ini, menjadi guru tanpa pamrih jarang ditemukan. Apalagi di era yang serba digital. Ketika ada etiket baik guru-guru di pelosok, alangkah bijaknya jika pemerintah juga menyikapinya dengan tidak memandang sebelah mata. PAUD di daerah maupun di kota memiliki tujuan yang sama. Hal kecil yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengapresiasi keberadaan PAUD di daerah agar tetap bergairah. Bukan malah sebaliknya.

“Pemerintah belum banyak memberikan dukungan pada PAUD ini,” tambah Dedeh (24), salah satu guru PAUD Al- Ikhlas yang dua tahun mengajar sembari tersenyum hampa.

Keterbatasan tempat, fasilitas, dukungan pemerintah, juga gaji ternyata tak meredupkan semangat guru-guru di daerah. Seperti semangat guru-guru di PAUD Al-Ikhlas yang kini memiliki anak didik berjumlah 35 orang. Dari binar mata mereka, tegas tak mau kalah oleh fasilitas.

Empat tahun sudah PAUD Al-Ikhlas berdiri di ujung Kampung telah memberikan napas segar bagi pendidikan anak usia dini. Mereka, tak pedulli dengan atap ruang kelas di tiap sudut menganga lebar. Satu ruang dibagi dua kelas dengan kain gorden. Dan kamar mandi menyatu dengan gudang dan beratap dedaunan.

Anak-anak yang haus akan ilmu tetap bahagia dan menikmati tiap detik, menit dan jam bersama gurunya. Belajar hal-hal yang menyenangkan. Belajar menjadi seseorang yang kelak akan membanggakan kedua orang tua, bangsa dan negara.(Oleh Siti Sahauni, Guru Konsultan Sekolah Literasi Indonesia – Dompet Dhuafa)

 

Editor: Uyang